Luh'Tu Kirei


Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek Pura Besakih terdiri dari 18 Pura dan 1 Pura Utama. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca utama Tri Murti Brahma, Wisnu dan Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur.

Filosofi Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi tempat ibadah terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai arwah serta alam para Dewata. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan suci Pura Besakih yang bermakna filosofis.

Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi:

1. Sistem pengetahuan,
2. Peralatan hidup dan teknologi,
3. Organisasi sosial kemasyarakatan,
4. Mata pencaharian hidup,
5. Sistem bahasa,
6. Religi dan upacara, dan
7. Kesenian.

Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional.

Objek penelitian Pura Besakih sebagai objek penelitian berkaitan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang berada di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali.

Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, punden berundak-undak, arca, yang berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih, gedong, maupun padmasana sebagai hasil kebudayaan masa Hindu.

Latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai istana Dewa tertinggi.

Pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai manusia homo religius dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa kebudayaan yang menyangkut aktivitas kegiatan selalu dihubungkan dengan ajaran Agama Hindu.

Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang banyak dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga mempengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari umat kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama Hindu di Bali.

Sekilas tentang Pura Besakih

Inilah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali dan pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan bernama Pulau Dawa . Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan nama Gunung Raung ) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya .

Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung , kemudian pindah ke gunung Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI HYANG ). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagi-bagikan kepada para pengikutnya.

Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama para pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat yang dituju Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara, dilaksanakan sebagai mana mestinya.
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya (bebanten / sesaji)

Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktu Sang Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari yang dipandang baik ( Dewasa Ayu ) beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000 orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan membawa alat-alat pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan dirabas itu. Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya dan Buta Yadnya . Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara. Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa , Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.

Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi ( payuk ) berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya diperciki tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama BASUKI . Sejak saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu berikutnya serta merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana sebagai mana yang pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari l ontar Markandeya Purana tentang asal mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih .

Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum dalam ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya , sampai saat ini setiap kali umat Hindu akan membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada pembangunan Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan, terlebih dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan . Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya memperhatikan isi lontar Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan. Demikian pula mengembangkan ajaran-ajaran agama Hindu

1. Pura Pesimpangan

Dari Pura Dalem Puri ke timur dan membelok lagi ke selatan yaitu di sebelah timur jalan raya, di tempat yang agak terpencil, terletak Pura Pesimpangan. Piodalan nya pada hari Anggara Keliwon Julungwangi , pura ini merupakan tempat pesimpangan (singgah) sejenak bila kembali melelasti dari Segara Kelotok Klungkung .

2. Pura Dalem Pur


Pura ini terletak paling selatan dari Pura Penataran Agung , yaitu di sebelah barat sungai. Untuk mencapainya kita harus berjalan kaki kira-kira 300 meter ke utara dan kemudian membelok ke barat di suatu tempat yang agak terpencil. Di pura ini distanakan Bhatari Durga yang dahulu dinamai Pura Dalem Kedewatan . Para umat Hindu yang telah selesai mengadakan Upakara Pitra Yadnya yaitu ngaben dan Memukur atau Ngeroras biasanya ke pura ini, Mendak Nuntun Sang Pitara untuk distanakan di Sanggah atau Pemerajan masing-masing. Di sekitar Pura Dalem Puri terdapat suatu tanah lapang yang agak luas yang dinamai Tegal Penangsaran dilengkapi sebuah Pelinggih Tugu kecil di sebelah timur pura. Piodalan di pura ini pada hari Buda Keliwon Ugu , sedang setiap tahun pada sasih Kepitu penanggal 1, 3 atau 5 diselenggarakan upakara Yadnya Ngusaba Kepitu . Di dalam pura inilah menurut suatu cerita, Sri Jayakasunu menerima pewarah-warah atau sabda dari bhatari Durga tentang Upacara Eka Dasa Rudra , Tawur Kesanga , Galungan , Kuningan dan lain - lainnya, yaitu setelah Sri Mayadenawa dihancurkan karena tindakannya menghalang-halangi masyarakat melakukan ibadah agamanya ke Pura Besakih.

3. Pura Manik Mas


Pura ini merupakan Kahyangan Dewi Pertiwi atau disebut juga Sang Hyang Giriputri (Saktinya Siwa ). Piodalan nya pada hari Saniscara Keliwon Wariga (Tumpek Uduh) . Di tempat ini seharusnya umat sembahyang dengan mempersembahkan aturan sepatutnya sebelum ia akan ke Pura Penataran Agung Besakih. Maksudnya agar baik jasmani dan rohani disucikan secara niskala sebelum akan menyelenggarakan sesuatu upakara Yadnya baik di Pura Penataran Agung maupun di pura pura sekitarnya. Diceriterakan oleh orang-orang tua, bahwa di masa-masa yang lalu yaitu waktu zaman Dalem atau Raja beliau biasanya ke Besakih dengan menunggang kuda, diiringi oleh masyarakat. Di sebelah selatan Pura Manik Mas beliau turun, kemudian bersama-sama muspa (sembahyang) di Pura Manik Mas. Selanjutnya barulah beliau menuju ke Pura Penataran Agung Besakih dengan berjalan kaki. Hal ini dilakukan karena wilayah antara Pura Manik Mas sampai ke puncak disebut Telajakan Pura Besakih yaitu Soring Ambal-ambal dan Luhuring Ambal-ambal . Oleh karenanya pula baik sekali bila mulai sekarang dirintis jalan agar setiap orang yang akan sembahyang ke Pura Penataran Agung Besakih, terlebih dahulu turun dan sembahyang di Pura Manik Mas, dan kemudian barulah setelah itu berjalan kaki ke Pura Penataran Agung sehingga keagungan dan kemuliaan Pura Besakih ini akan semakin dapat dirasakan serta diresapi.

4. Pura Bangun Sakti

Letaknya disebelah timur jalan raya, di mana distanakan Triantabhoga yaitu Hyang Naga Basukih , Hyang Naga Sesa dan Hyang NagaTaksaka . Piodalan nya pada hari Buda Pon Watugunung . Di samping itu setiap waktu tertentu diselenggarakan aci Pengangon dan Ngusaba Posya pada hari Tilem sasih keenem . Di pura inilah konon Danghyang Manik Angkeran di hidupkan kembali setelah beberapa lamanya wafat akibat kesalahannya kepada Hyang Naga Basukih .

5. Pura Ulun Kulkul


Di sebelah barat jalan terletak Pura Ulun Kulkul di mana Hyang Mahadewa distanakan. Sebuah kulkul (kentongan besar) terdapat di pura ini dan dipandang sebagai kulkul yang paling utama dan mulia dari pada semua kulkul yang ada di Bali. Di zaman dahulu setiap desa atau banjar membuat kulkul , kulkul itu harus dipelaspas dan dimohonkan tirta di Pura Ulun Kulkul, agar atas asung wara nugraha Hyang Widhi Wasa, kulkul itu mempunyai taksu , yaitu ditaati oleh krama desa atau krama pemaksan pura yang akan memakai kulkul tersebut. Adapun piodalan di pura ini jatuh pada hari Saniscara Keliwon Kuningan atau tepat pada hari Raya Kuningan , sedang pada setiap hari tilem ketiga diadakan upakara aci Pengurip Bumi dan pada setiap hari tilem kaulu menghaturkan aci sarin tahun . Aci Pengurip Bumi dimaksudkan untuk memohon agar semua tanam-tanaman baik di sawah maupun di ladang menjadi subur dan sebagian kecil dari hasil pertanian itu kemudian dipersembahkan yang dinamakan aci sarin tahun . Jika ada Upakara-upakara Yadnya di Pura ini dan di Pura Penataran Agung , maka semua bangunan Pelinggih yang terdapat di dalamnya harus dihias dengan pengangge-pengangge sarwa jenar atau hiasan serba kuning.

6. Pura Merajan Selonding

Di sebelah utara Pure Ulun Kulkul dan agak masuk ke barat dan jalan raya terdapat Pure Merajan Selonding. Dahulu kala pura ini adalah Merajan dari Dalem Kesari Warmadewa yang diperkirakan pernah mempunyai istana di Besakih dengan nama Bumi Kuripan . Raja Purana Besakih dalam bentuk lontar yang sering disebut Prasasti Bredah disimpan di pura ini, demikian pula seperangkat gamelan kuno yang bernama Selonding . Dalam Lontar Catur Muni-Muni yaitu yang menceriterakan tentang asal mulanya ada tabuh gamelan di Bali, dikatakan bahwa Bhagawan Narada mengajarkan para pertapa menabuh gamelan dengan gamelan Selonding . Sementara itu dalam Markandeya Purana ditegaskan bahwa Sang Yogi Markandeya juga memakai nama Hyang Naradatapa . Apakah yang dimaksud dengan Bhagawan Narada ini Sang Yogi Markandeya dan gamelan yang dipakainya itu gamelan selonding yang tersimpan di pura ini, masih perlu diadakan penelitian lebih lanjut oleh para ahli. Piodalan di pura merajan Selonding pada hari Wraspati Keliwon Warigadian .

7. Pura Goa

Ke utara dari Pura Manik Mas di sebelah timur jalan raya terletak Pura Gua di mana Hyang Naga Basuki diistanakan. Di sebelah timur Pura ini terdapat sebuah sungai dan pada tebingnya ada sebuah gua besar, tetapi sekarang gua tersebut sudah tertimbun runtuhan tanah longsor. Dalam ceritera tentang perjalanan Dang Hyang Sidimantra ke Besakih, diceriterakan bahwa di gua inilah beliau setiap hari-hari tertentu mempersembahkan haturan kepada Hyang Naga Basuki berupa empahan (susu), madu dan telur. Juga di tempat ini Dang Hyang Manik Angkeran memotong ekor Naga Basuki , sehingga Dang Hyang Manik Angkeran dipanggang sampai meninggal, tetapi kemudian dihidupkan lagi setelah Dang Hyang Sidimantra (Ayah dan Dang Hyang Manik Angkeran ) dapat memasang kembali ekor Naga Basuki yang terpotong itu. Menurut ceritera rakyat, dahulu kala gua itu tembus sampai ke Gua Lawah Klungkung , sehingga pernah terjadi pada waktu ada sabungan ayam di Gua Lawah , salah seekor ayam sabungan itu lari masuk ke Gua Lawah kemudian dikejar terus oleh pemiliknya dan akhirnya ia keluar di gua Besakih . Pada permukaan gua sekarang ini sudah diperbaiki sehingga memungkinkan orang duduk untuk sembahyang atau semadi. Piodalan di pura Gua pada hari Buda Wage Kelawu atau Buda Cemeng Kelawu
8. Pura Banua


Pura Banua Kawan terletak di sebelah timur jalan raya yaitu di timur parkir kendaraan menghadap ke selatan. Di sini diistanakan Batari Sri dan hari piodalan nya jatuh pada hari Sukra Umanis Kelawu . dahulunya di sebelah timur pura ini agak ke selatan terdapat sebuah lumbung padi untuk tempat menyimpan sebagian dari padi hasil sawah druwe Pura Besakih . Sekarang lumbung ini sudah tidak ada dan akan diusahakan untuk dibangun kembali. Dengan adanya lumbung ini diharapkan sebagai sarana permohonan untuk penginih-inih , artinya segala yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dapatlah dipenuhi, meskipun sederhana tetapi cukup.

9. Pura Merajan Kanginan


Letaknya di sebelah timur Banua Kawan , yaitu di ujung timur di tepi sebuah sungai menghadap ke selatan. Di sini distanakan Bhatara rambut Sedana dan terdapat pelinggih untuk memulyakan Empu Bradah dan Bhatara Indra . Adapun piodalan nya jatuh pada hari Saniscara Keliwon Kerulut atau tumpek Kerulut . Menurut ceritera-ceritera yang pernah didengar oleh para orang-orang tua di Besakih, konon Pura ini bekas merajan dan Danghyang Manik Angkeran sewaktu beliau menjadi pertapa di Besakih.

10. Pura Hyang Haluh (Jenggala)


Dari Pura Banua Kawan ke barat melalui jalan setapak agak jauh ke dalam dan kemudian membelok ke utara akan kita dapati Pura Jenggala di atas sebuah bukit kecil. Menurut masyarakat setempat pura ini sering juga disebut Pura Hyang Haluh dan difungsikan sebagai Kahyangan Prajapati . Hal ini bisa dimengerti karena agak ke selatan dari Pura Jenggala terdapat tanah kuburan yang disebut Setra Agung . Di pura ini terdapat beberapa patung batu yang agak kuno menyerupai seorang resi, garuda dan lain lainnya, yang sakral dan dibuatkan pelinggih-pelinggih . Banyak sekali ceritera rakyat yang dihubungkan dengan pura ini, ada yang mengatakan bekas pertapaan Dyah Kulputih , ada yang mengatakan Kahyangan Melanting dan ada pula yang memperkirakan semacam Pura Alas Angker.

11. Pura Basukihan

Di kaki Pura Penataran Agung Besakih yaitu di sebelah kanan kalau kita akan menaiki tangga Pura Penataran Agung , terdapat sebuah pura yang pelinggih induknya berupa meru tumpang pitu (tingkat tujuh). Pura ini bernama Pura Basukihan di tempat mana menurut perkiraan para sulinggih, Danghyang Markandeya menanam Pedagingan Pancadatu (lima jenis logam dengan kelengkapan upakaranya). Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah induk dari Kahyangan Tiga di desa-desa yaitu pura Puseh , pura Desa dan pura Dalem . Dari kelengkapan palinggih-palinggih yang terdapat di masing-masing pura itu, demikian pula sastra-sastra agama yang ada hubungannya dengan tata cara membangun suatu pura, nampak bahwa pura Basukihan itu adalah pura Puseh Jagat , Pura Penataran Agung berfungsi sebagai pura Desa Jagat dan Pura Dalem Puri sebagai pura Dalem Jagat . Dengan demikian Pura Basukihan, Pura Penataran Agung dan Pura Dalem Puri adalah pusat dan semua pura Puseh , pura Desa dan pura Dalem yang terletak di manapun, sehingga pura Besakih secara keseluruhan adalah pura Penyungsung Jagat . Adapun yang distanakan di pura ini ialah Hyang Naga Basuki . Hari Piodalan nya jatuh pada hari Buda Wage Kelawu atau Budha Cemeng Kelawu .
12. Pura Penataran Agung

Di sebelah utara Pura Basukihan dinamai Pura Penataran Agung. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih. maka Pura Penataran Agung ini adalah yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di Besakih. Dalam Raja Purana Besakih dikatakan bahwa Pura Penataran Agung Besakih adalah tempat Pesamuaning Batara Kabeh.

Denah pura Penataran Agung Besakih


13. Pura Batu Madeg

Untuk mencapai Pura Batu Madeg ini kita berjalan kaki keutara disebelah Barat Suci dan kemudian membelok sedikit ke Barat.

Pura ini cukup luas di mana di dalamnya banyak terdapat palinggih-palinggih dan meru. Palinggih pokok adalah stana Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Hyang Wisnu berupa meru tumpang 11. Upakara Yadnya atau Pangaci di pura Batu Madeg terdiri dari piodalan pada hari Soma Umanis Tolu, Ngusabha Warigadian pada hari penanggal 5 sasih kelima dan Benaung Bayu pada hari tilem sasih kelima.

Palinggih-palinggih di Pura Batu Madeg antara lain:

1. Bebaturan tempat memuja Bhatara Gajah Waktera. Di masa-masa yang lalu yaitu pada waktu perjuangan merebut kemerdekaan, konon para pejuang banyak yang bersemadhi di palinggih ini.
2. Bebaturan linggih Bhatara Batudinding.
3. Gedong Palinggih Bhatara Pujungsari.
4. Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Manik Bungkah.
5. Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Bagus Babotoh.
6. Meru tumpang II Palinggih Bhatara Sakti Batu Madeg (Hyang Wisnu).
7. Bebaturan Palinggih I Ratu Kelabangapit, tempat masyarakat memohon keselamatan bila akan membuat empelan (bendungan besar) dan memohon agar sawah-sawahnya tidak mengalami kekurangan air.
8. Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Buncing.
9. Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Angkeran yang dimuliakan oleh para prati sentananya dan sekarang dikenal dengan sebutan Pinatih, sulang dan Wayabya, di samping oleh Masyarakat umat Hindu umumnya.
10. Bale Tegeh Palinggih Lingga.
11. Bale Pesamuhan Agung tempat pemujaan umum ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagi Hyang Wisnu.
12. Bebaturan Pelinggih Bhatara Sanghyang Batur.
13. Gedong Palinggih Sanghyang Kumpi Batur.
14. Enam buah Bale Pelik diantaranya terdapat tempat pemujaan pada Dukuh Suladri di Bale Pelik bagian Timur.
15. Bangunan-Bangunan Bale Pegat, Bale Gong, Bale Pewedaan, dan Candi bentar.

Bila terdapat karya-karya agung di pura Besakih demikian pula pengaci di pura Batu madeg, maka semua palinggih-palinggih yang terdapat di Pura ini dihias dengan pengangge-pengangge Palinggih seperti ider-ider, Lelontek, Pedapa dan lain-lainnya dengan warna serba hitam.


14. Pura Batu Kiduling Kreteg

Dari Pura Penataran Agung ke timur melewati jalan setapak di sebelah menyebelah pura-pura Pedharman dan pada ujung timur terdapat Pura Kiduling Kreteg, yaitu di sebelah Timur sungai melalui sebuah jembatan. Luas Pura ini demikian pula jumlah palinggih-palinggihnya hampir sama dengan Pura Batu Madeg, di mana pelinggih pokoknya Meru tumpang 11 kahyangan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Hyang Brahma. Di dalam lontar-lontar Pura ini kadang-kadang dinamai Pura Dangin Kreteg dan kadang Pura Kiduling Kreteg, mungkin karena tempatnya seolah-olah berada di sebelah timur jembatan dan seolah-olah di sebelah selatan jembatan kalau kita sedang berada di Pura Penataran Agung . Ini bisa dimengerti karena Pura Besakih sesungguhnya tidak sepenuhnya menghadap ke Selatan tetapi agak miring kearah Barat berhadapan dengan Pura Luhur Uluwatu di desa Pecatu Kabupaten Badung. Ini pulalah sebabnya Pura Luwur Uluwatu dan Pura Besakih Hyang Hyangning Segara Ukir atau Hyang Hyangning Segara Gunung dalam arti Pura Luhur Uluwatu berfungsi Predana dan Pura Besakih Purusa.

Adapun bangunan-bangunan pelinggih yang terdapat di Pura Kiduling Kreteg antara lain:

1. Meru tumpang 11 Pelinggih Hyang Brahma, yang oleh umum disebut Bhatara Agung Sakti.
2. Meru Tumpang 7 Pelinggih Bhatara Bayu, yang oleh umum disebut I Ratu Bagus Bayusan.
3. Meru tumpang 5 Palinggih Ida Ratu Bagus Swa.
4. Meru tumpang I I Palinggih Ida Ratu Bagus Cili.
5. Meru tumpang 5 Palinggih Ida Ratu Bagus Soha.
6. Meru tumpang 3 Palinggih Ida Ratu Sihi.
7. Meru tumpang 3 Palinggih Dewa-Dewi.
8. Bale Pesamuan Agung.
9. Bale Agung.
10. Bale Pegat.
11. BalePawedaan.
12. Bebaturan.
13. Bale Tegeh.
14. Bebaturan.
15. Panggungan.
16. Bale Gambang.
17. Bale Gong.
18. Candi Bentar.
19. Bale Pesambiyangan.

Piodalannya jatuh pada Anggara Wage Dungulan atau Penampahan Galungan, sedang Aci Panyebab Brahma diselenggarakan setahun sekali pada hari purnama sasih Kaenem. Aci Panyebab Brahma adalah untuk memohon agar padi di sawah tidak merana dan hangus kekeringan. Dalam karya-karya di pura Kiduling Kreteg, semua penganggen pelinggih berwarna merah.


15. Pura Gelap


Dari jalan setapak di sebelah timur Pura Penataran Agung ke utara (jalannya agak menanjak kira-kira 5 menit perjalanan), terdapat Pura Gelap di ketinggian. Pelinggih pokok berupa Meru tumpang 3 di sana distanakan Hyang Iswara, di samping sebuah Padma, Palinggih Ciwa Lingga, Bebaturan Sapta Petala, Bale Pewedaan dan Bale Gong. Piodalan di Pura Gelap jatuh pada hari Soma Keliwon Wariga dan Aci Pengenteg Jagat pada setiap hari Purnama sasih Karo.
Di sinilah pura tempat umat maturan dan memohon kedamain pikiran dan kesejahteraan hidup sesuai dengan makna pengacinya yang disebut Aci Pengenteg Jagat. Pada waktu karya-karya di Pura Besakih semua pengangge-pengangge di Pura ini berwama serba putih.


16. Pura Pengubengan

Pura Pengubengan ini letaknya ke utara dari Pura Penataran Agung melalui jalan setapak kira-kira 30 menit perjalanan. Di sini terdapat pelinggih pokok meru tumpang 11 di samping bale gong, bale Pelik, Piyasan, Candi Bentar dan tembok penyengker. Di sinilah pelinggih Pesamuhan Bhatara Kabeh sebelum Bhatara Turun Kabeh di Penataran Agung. Di antara pura-pura lainnya yang ada di Besakih, letak Pura Pengubengan ini yang tertinggi. Jika masyarakat bermaksud mempersembahkan aturannya kepuncak Gunung Agung akan tetapi tidak mampu karena tingginya, maka cukup aturan itu dipersembahkan di Pura Pengubengan ini. Sama halnya dengan dan Pura Peninjoan, dari sinipun pemandangan alam kelihatan indah sekali, akan tetapi Pura Penataran Agung tidak nampak. Sesungguhnya baik sekali apabila pada hari-hari tertentu (Rerainan) kita dapat pedek tangkil serta mempersembahkan aturan di Pura Peninjoan dan Pura Pengubengan secara berombongan, karena di samping hal-hal berkunjung ke Pura Pura itu termasuk Yadya yang disebut Tirtha Yatra, juga kita mengetahui secara langsung pura-pura itu. Piodalan di Pura Pengubengan jatuh pada hari Budha Wage Kelawu.


17. Pura Batu Tirtha


Tempatnya tidak begitu jauh dan Pura Pengubengan yaitu disebelah timurnya kira-kira 10 menit perjalanan. Di sini terdapat sumber tirtha atau air suci yang dipergunakan bila ada karya-karya agung di Pura Besakih ataupun karya-karya agung di desa-desa pekraman, demikian pula di sanggar-sanggar pemujaan umat seperti di sanggah maupun merajan. Piodalan di pura Tirtha jatuh pada hari Budha Wage Kelawu.


18. Pura Batu Peninjoan

Letak Pura ini agak kebarat-laut dari Pura Batu Madeg, melalui jalan setapak, menuruni lembah dan menyelusuri pinggir sungai kering tegalan penduduk. Perjalanan kurang lebih atarara 15 sampai 25 menit dan kita akan sampai di Pura Peninjoan disebuah bukit kecil. Di sana terdapat sebuah Meru tumpang 9. Dari tempat inilah konon Empu Kuturan meninjau wilayah Desa Besakih yang sekarang menjadi tempat pelinggih-pelinggih di Pura Penataran Agung dan sekitarnya, sewaktu beliau merencanakan pembanguan dan memperluas Pura Besakih ini yang di masa yang lalu tidak sebanyak yang kita saksikan sekarang. Di tempat inilah Empu Kuturan menjalankan tapa yoga samadhi bila beliau ke Besakih. Ajaran-ajarannya tentang tata cara membangun pura, membuat pelinggih meru, kahyangan tiga, Asta Kosala Kosali dan lain-lainnya sampai sekarang masih dipraktekkan oleh segenap lapisan masyarakat Hindu. Setelah beliau wafat beliau tidak lagi disebut Empu Kuturan, tetapi Bhatara Empu Kuturan, karena beliau dipandang sebagai Awatara atau Dewa Kemanungsan tidak ternilai besar jasanya dalam menuntun masyarakat Umat Hindu dan untuknya distanakan di Meru tumpang 9 di Pura Peninjoan ini, selain di tempat-tempat lain seperti di Silayukti (Padangbai - Karangasem). Dari Pura Peninjoan, semua pelinggih di Pura Penataran Agung dapat dilihat dengan jelas, demikian pula pantai dan daratan pulau Bali di sebelah selatan kelihatan indah sekali. Selain dari meru tumpang 9, pura ini juga dilengkapi dengan dua buah Bale Pelik dan Piyasan. Piodalan di Pura Peninjoan pada hari Wraspati Wage Tolu.


19. Komplek Pedarman
Padmasana adalah lambang makrokosmos/ alam semesta yang merupakan Stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Çiwa Aditya).

Padmasana dapat dibedakan atas :
Berdasarkan Lokasi

Berdasarkan lokasi (menurut pengider- ider) terbagi menjadi 9 jenis berdasarkan lontar Wariga Catur Wisana sari

Nama Bertempat di Menghadap ke
Padmakencana timur barat
Padmasana selatan utara
Padmasana Sari barat timur
Padmasana Lingga utara selatan
Padma Asta Sedana tenggara barat laut
Padmanoja barat daya timur laut
Padmakaro barat laut tenggara
Padmasaji timur laut barat daya
Padmakurung tengah- tengah beruang tiga lawangan

Berdasarkan Pepalihan :

Berdasarkan atas rong (ruang) dan pepalihannya (tingkatan atau undag) dapat dibedakan atas:
Nama Rong (ruang) Pepalihan Keterangan
Padmasana Nglayang 3 (tiga) 7 (tujuh) pakai Bedawang Nala
Padma Agung 2 (dua) 5 (lima) pakai Bedawang Nala
Padmasana 1 5 (lima) pakai Bedawang Nala
Padmasari 1 3 (tiga) yaitu:
  • palih Taman (bawah)
  • palih Sancak (tengah) dan ...
  • palih Sari (atas)
tanpa Bedawang Nala
Padmacapah 1 2 (dua) yaitu:
  • palih Taman (bawah) dan ...
  • palih Capah (atas)
tanpa Bedawang Nala

Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri dan berfungsi sebagai pengayatan / penyawangan. Mengenai pedagingan kedua padmasana ini hanya pada dasar dan puncak saja. Sedangkan padmasana yang mempergunakan Bedawang Nala berisi pedagingan pada Dasar, Madya, dan Puncak.

Tata cara pembuatan :

Tata cara pembuatan padmasana berdasarkan lontar Asta Kosala- Kosali dan Asta Bumi.

Upakara/ Upacara :

Upakara/ Upacara termasuk pependeman dan pedagingan berdasarkan lontar· lontar
  • Dewa Tattwa
  • Wariga Catur Winasa Sari
  • Usana Dewa Widhi Tattwa dan ..
  • terutama Kusuma Dewa.
posted by Bali @ 03:38   0 comments
Welcome to Bali Article
Babad Bali
Sabtu, 27 September 2008
BABAD BALI
TENTANG BABAD
Agak sulit mendefinisikan apa arti babad. Tetapi dalam hati kita tahu maknanya. Itu yang penting. Babad adalah mengenai leluhur. Ada tentang kepahlawanan, ada kejayaan, ada kegetiran, ada pengkhianatan, ada sejarah, ada silsilah, ada epos, berpadu menjadi satu. Secara pokok tidak lepas dari kiprah para leluhur di masa lalu. Jadi untuk apa berpanjang kata mendefinisikannya?
Ada kesan sumbang membicarakan babad. Konon karena isinya dapat dibelokkan ke arah yang negatif. Bukankah tidak hanya babad yang dapat di'rekayasa'. Sejarah, kontrak, surat, perjanjian, undang- undang, berita, segalanya dapat dibelak-belokkan, kalau mau. Kemudian untuk apa kita dianugerahi akal budi, kalau tidak dapat menyikapi hal demikian?
Oleh karena itu, babad adalah babad. Nilai luhur di balik babad tidak ternilai besarnya apabila kita dapat menggunakan kebijakan kita dalam menyerap sarinya. Ambil misalnya silsilahnya. Catatan yang lengkap dari genealogy dan penyebaran keturunan yang lengkap adalah kekayaan khas kita. Mungkin tiada duanya di dunia. Karena orang Bali seperti kita ini dididik untuk memuliakan leluhur. Banyak nilai religius yang terkait di dalamnya. Hidup kita tidak akan tenang sebelum kita tahu persis berasal dari siapa dan dari mana kita hadir menghamba Ida Hyang Widhi di bumi.
Berbahagialah kita memiliki dan menyimpan babad dalam hati. Tidak berbeda dengan cara kita memahami agama, secara miniatur, babad bukanlah susunan kata- kata mati. Tetapi ibarat kembang gula, telah terkulum di dalam mulut, basah oleh liur kita dan dibelai oleh lidah kita, barulah bisa kita nikmati sarinya. Bukan pula kemasannya yang perlu. Tetapi bagaimana kita menikmatinya dengan sepenuh indra dan hati kita.
Selamat menikmati...
Babad Kutawaringin
Arya Kutawaringin
Beliau adalah utusan Mahapatih Gajahmada, yang ditugaskan mengamankan daerah Gelgel. Di bawah pemerintahan Dalem Ketut Kepakisan di Samprangan, beliau adalah wakil dari Patih Agung Arya Kresna Kepakisan. Tahun 1271-1349. Beliau menetap di Toya Anyar (Tianyar), mempertahankan wilayah timur Gunung Agung.
Babad Sri Nararya Kresna Kepakisan
Arya Kresna Kepakisan
Pada tahun 1357 Arya Kresna Kepakisan dikirim ke Bali oleh Maha Patih Gajahmada memimpin pasukan bantuan Majapahit untuk memadamkan pemberontakan 39 desa Baliaga. Setelah berhasil beliau diangkat sebagai patih agung kerajaan Samprangan, mendampingi Sri Aji Kresna Kepakisan, raja Samprangan I. Di Samprangan beliau tinggal di Puri Nyuh Aya, karenanya beliau disebut juga Pangeran Nyuh Aya atau Ida Dewa Nyuh Aya. Beliau berputra 8 orang, 7 orang lahir di Nyuh Aya dan satu lahir di Gelgel (Krian Madya Asak). Putra-putra beliau adalah:
Ida Dianggan
Krian Madya Asak
Krian Petandakan
Krian Akah
Krian Cacaran
Krian Kaloping
Krian Pelangan
Krian Satra
Babad Buleleng
Ki Barak Panji (Ki Gusti Panji)
Ki Barak Panji (Ki Gusti Panji) adalah sosok yang keharuman namanya dapat kami tampilkan dalam bentuk babad dan silsilah keluarga besar beliau, kami rangkum dari berbagai sumber baik yang telah dipublikasikan maupun kiriman pribadi para pemerhati. Kami masih mengharap masukan anda untuk melengkapi keterangan tentang beliau agar dapat lebih dikenal secara luas.
Ki Gusti Ngurah Panji
Ki Gusti Ngurah Panji Made
Ki Gusti Ngurah Panji Wala
Babad Pasek
Mpu Ketek
Mpu Ketek adalah sosok yang keharuman namanya dapat kami tampilkan dalam bentuk babad dan silsilah keluarga besar beliau, kami rangkum dari berbagai sumber baik yang telah dipublikasikan maupun kiriman pribadi para pemerhati. Kami masih mengharap masukan anda untuk melengkapi keterangan tentang beliau agar dapat lebih dikenal secara luas.
Arya Kepasekan
Sanghyang Pemacekan
Babad Arya Kresna Kepakisan Versi Dokbud Bali
Arya Kapakisan
Arya Kapakisan adalah sosok yang keharuman namanya dapat kami tampilkan dalam bentuk babad dan silsilah keluarga besar beliau, kami rangkum dari berbagai sumber baik yang telah dipublikasikan maupun kiriman pribadi para pemerhati. Kami masih mengharap masukan anda untuk melengkapi keterangan tentang beliau agar dapat lebih dikenal secara luas.
Arya Asak
Arya Nyuhaya
Babad Buleleng Versi Dokbud
Si Luh Pasek Panji
Si Luh Pasek Panji adalah sosok yang keharuman namanya dapat kami tampilkan dalam bentuk babad dan silsilah keluarga besar beliau, kami rangkum dari berbagai sumber baik yang telah dipublikasikan maupun kiriman pribadi para pemerhati. Kami masih mengharap masukan anda untuk melengkapi keterangan tentang beliau agar dapat lebih dikenal secara luas.
Ki Barak Panji
Babad Jawa Versi Mangkunegaran
Babad Raja-Raja Jawa (Tumapel)
Babad Raja-Raja Jawa (Tumapel) adalah sosok yang keharuman namanya dapat kami tampilkan dalam bentuk babad dan silsilah keluarga besar beliau, kami rangkum dari berbagai sumber baik yang telah dipublikasikan maupun kiriman pribadi para pemerhati. Kami masih mengharap masukan anda untuk melengkapi keterangan tentang beliau agar dapat lebih dikenal secara luas.
Tunggul Ametung
Ken Arok / Angrok / Rejasa
Babad Arya Gajah Para
Ya Tuhan semoga tidak mendapat halangan.
Ong pranamyam sira sang siwyam, bhukti mukti hitarratam,
prawaksye tatwa wijnevah, wisnwangsa patayo swaram.
Sira ghranestyam patyam, rajasityam mahabalam,
sawangsanira mangjawam, bhuphalakarn patyam loke.
Ong nama dewa ya.
Sembah hamba ke hadapan Batara junjungan, daulat paduka leluhur yang telah menjadi batara, Engkau yang menganugerahi kehidupan (makanan) dan kebahagiaan, keberhasilan dalam segala kehendak, senantiasa bersemayam dalam perasaan dan pikiran, dipuja agar merestui, para bijak di lingkungan keluarga memohon untuk menyebarkan cerita ( sejarah ) ini, yang berkenaan dengan kewajiban seorang raja, menerangi dan menjadi contoh di dunia, akan diuraikan tentang silsilah keturunan oleh beliau junjungan utama yang telah sempurna. Pada awalnya dimulai. Selamat dan panjang usia, terhindar dari kutuk celaan fitnah bagaikan terkena racun, semoga terus dijunjung di dunia. Ya Tuhan semoga menemukan keberhasilan.
Selamat pada tahun Saka 530 yang telah lewat, bulan Cetra (sekitar Maret), hari ke-12 terang bulan, hari dalam sepekan Julung Pujut, pada saat itu titah paduka batara Maharaja Manu, tiba di pulau Jawa di Medangkamulan, di sana dipuja sebagai dewa, dan menjadi pelindung pertama di negeri itu.
Gurunam sobitah siyotah.
Sebabnya beliau turun, karena atas titah ayah beliau , Batara Guru, menitahkan untuk menegakkan dharma ( kebenaran ) di Medangkemulan, kemudian selesainya melaksanakan dharma beliau, beliau juga melakukan semadi, menghadap/ memuja Surya pada waktu mulai terbit. Hasil dari tapanya, beliau bagaikan dewa dalam alam nyata, oleh karena itu tidak ada yang menyamai di dunia, demikian selesai.
Taman loke turanjitah, stroteyam satya dharmmanam,
Sakyam wakbhitah krtti loke, bhuta bhawanam wancanam.
Karenanya tenteramlah negeri itu selama beliau dijunjung bagi beliau tidak ada yang melebihi selain darma, itulah sebabnya berhasil segala yang diucapkannya, Hyang Maharaja Manu juga memahami tentang kebatinan.
Jawanam mandawe swijah, dasantih bhujanggam tayah,
tasiyamnco ywanam prajah, haiwam santanam Wijnanah.
Entah berapa lama hyang Batara Maharaja Manu, bertahta menjadi pemimpin di sana, bagaikan dewa dalam kenyataan, beliau tetap mempertahankan kemuliaan, sampai ke seluruh negeri, disegani oleh rakyat maupun bangsawan, orang pertama dalam keturunan Manu, di kerajaan, Medangkamulan.
Awiji ekam sastito.
Awalnya beliau Maharaja Manu, menurunkan keturunan utama seorang laki-laki, bergelar Sri Jaya Langit. Adapun Sri Jaya langit, menurunkan Sri Wrttikandayun. Adapun Sri Wrttikandayun, menurunkan Sri Kameswara Paradewasikan. Adapun Sri Kameswara Paradewasikan, menurunkan Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tungga Dewa, beliau sebagai pemimpin utama, perencana unggul, raja di antara para yogi dan penguasa tertinggi, menjabarkan tujuh formasi ilmu Sanskrit dalam tata bahasa, oleh dilampaui orang. Hasil karya Bagawan Byasa, digubah dalam palawakya, memahami seluk beluk cerita prosa dari Astadasa Parwa. Beliau bagaikan Raja yang unggul di dunia, pikiran beliau mengutamakan kebenaran, tidak diperdaya sebagai raja, menjaga daerah kekuasaan, mengutamakan kejujuran dan kesetiaan, sungguh beliau menjadi pelindung dunia.
Prawaktayan sri gotrabih. Beliau raja penguasa pertama, pada waktu beliau memerintah negeri itu makmur, para pernuka tidak ada yang berani menentang beliau. Demikian keistimewaan beliau Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tunggadewa.
Beberapa lama beliau dijunjung menjadi penguasa negeri, berhasil mempunyai keturunan, beliau berputra laki-laki yang utama, bernama Sri Kameswara, seperti nama buyut beliau. Adapun Sri Kameswara, memiliki keturunan tiga laki-laki, dan seorang perempuan, Semuanya ada empat, rinciannya adalah, yang tertua bernama Sri Krtta Dharma, beliau yang wafat di Jirah. Adapun adik beliau, Sri Tunggul Ametung, beliau wafat di Tumapel, saudara yang perempuan, bernama Dewi Ghori Puspatha, disunting oleh Mpu Widha, saudara dari Medhawati, telah menyatu ke alam baka, berkedudukan di kuburan. Adapun yang keempat, adalah Sri Airlangga, yang diangkat dari Sri Udayana Warmadewa, raja Bali, beserta Sri Guna Priya Dharmapatni, keturunan dari Mpu Sendok.
Adapun Sri Airlangga menjadi raja penguasa berkedudukan di negara Daha. Memiliki keturunan dua laki-laki utama, yang ketiga putri di luar istana. Putra tertua itu bernama Sri Jayabhaya, dan Sri Jayashaba, lahir dari ibu permaisuri. Semuanya keturunan Wisnuwangsa Kediri. Adapun yang di luar istana (puspa capa), bergelar Sri Arya Buru, sama-sama keturunan orang dusun, cikal bakal lurah Tutwan, Si Gunaraksa yang datang ke Bali.
Silsilah raja Sri Jayabhaya yang diuraikan terlebih dahulu, raja Sri Jayabhaya, berputra tiga orang laki-laki, yang tertua bernama raja Sri Dandang Gendis, Sri Siwa Wandhira, Sri Jaya Kusuma, demikian keturunan beliau Sri Jayabhaya. Adapun raja Sri Dandang Gendis, memiliki keturunan Sri Jaya Katong, dia wafat dalam peperangan, Sri Jaya Katong, berputra Sri Jaya Katha, adapun Sri Siwa Wandhira berputra Sri Jaya Waringin, Sri Jaya Waringin berputra Sri Kuta Wandhira berputra bernama Arya Kutawaringin, dia pergi ke Bali, diutus oleh beliau Patih Mada, berkembang keturunannya menjadi keluarga Kubon Tubuh, Kuta Waringin, sampai di sana diceritakan.
Adapun Sri Jaya Kusuma, memiliki keturunan Sri Wira Kusuma, tidak mengikuti aturan kata krama keluarga, melahirkan keturunan berada di Pulau Jawa, tidak diceritakan lagi kelanjutannya.
Kembali Sri Jayasabha yang diceritakan, memiliki keturunan seorang laki-laki, bernama Sirarya Kediri, memiliki keturunan bernama Arya Kapakisan, beliau dikirim oleh keturunan dua orang semua laki-laki, beliau Pangeran Nyuhaya, dan Pangeran Asak, sama-sama mengembangkan keturunan di Bali, cerita disudahi.
Kembali diceritakan yang terdahulu, Jaya Waringin dan Jaya Katha, keturunan beliau Sri Siwa Wandhira dan Jaya Katong beliau berdua yang gugur dalam pertempuran, beliau berdua yaitu Jaya Waringin dan Jaya Katha, yang menyerah ke Tumapel, waktu ayah beliau hancur dalam peperangan negara Daha menjadi kacau, akhirnya berlanjut sampai cucu terkena kehancuran, kutuk beliau pendeta Çiwa maupun golongan Budha.
Apa yang menyebabkan terjadinya perang itu? Menyebabkan Keraton menjadi hancur ?
Dengarkan tambahan cerita ini, pada tahun Çaka yang lalu 1144 ( 1222 M ), bulan Palguna (sekitar Pebruari), hari ketiga belas setelah bulan Purnama, hari sepekan Watu Gunung, pada saat itu perintah beliau raja Ken Angrok, beliau yang bertahta di Tumapel, menyerang kerajaan Galuh, atas desakan beliau para pendeta Çiwa maupun golongan Budha. Bahwasanya raja Sri Dangdang Gendis, durhaka pada para pendeta, menghina kewajiban sang Brahmana, ibaratnya seperti maharaja Nahusa, yang berkeinginan menguasai Surga. Demikian perbuatan raja Sri Dangdang Gendis, menyebabkan semua pendeta menjadi bingung mengungsi ke Tumapel, sekarang kerajaan Daha, ibaratnya seperti segunung rumput kering, hancur lebur terbakar oleh api, siap dibakar?, itulah kemarahan sang pertapa, berkobar dalam pikirannya, ditiup angin tak henti-hentinya Raja Sri Ken Angrok menghembus, semakin menyala tak ada tandingnya.
Pada akhirnya menyerah Sri Aji Dangdang Gendis, sadar akan ajalnya tiba, karena raja Sri Ken Angrok sungguh seorang keturunan Brahmana dari Waisnawa, beliau juga dijuluki Hyang Guru, nah itu sebabnya Sri Raja Dangdang Gendis, memusatkan pikiran, menggelar rahasia batin, segera moksa tanpa jasad turut pula kandang kuda beserta pembawa puan, payung, terlihat samar bayangan beliau, melambai di angkasa, menuju Wisnuloka. Demikian jelas Sri raja telah menyatu di alam sana.
Ada lagi yang diceritakan yaitu para prajurit dan menteri lebih-lebih para keluarga utama ( dekat ), rakyat yang masih hidup, semua cerai-berai, mencari tempat berlindung, mencari tempat persembunyian, agar selamat, sebab pemimpin perang adalah Siwa Wandhira, beserta Misawalungan, Semuanya telah gugur, dengan penuh keberanian.
Masih ada dua orang keluarga keturunan utama, Jaya Katha, dan Jaya Waringin yang terkenal, keturunan Jaya Katong, beserta Siwa Wandhira, yang gugur dalam medan perang.
Mereka berdua dendam, atas tewas ayahnya dalam pertempuran, maju menyerang seperti harimau galak, lalu ditangkap bersama-sama oleh empat orang gagah berani yang masing-masing bernama , Arya Wang Bang, Misa Rangdi, Bango Samparan, Cucupu Rantya, di sana Jaya Katha dan Jaya Waringin, keduanya ditangkap. Tidak mampu melawan ikut pula istri Jaya Katha dibawa berlari beliau sedang hamil, sedang mengidam. Adapun Jaya Waringin, masih perjaka, belum mempunyai istri. Keempat menteri tersebut semua belas kasihan terhadap beliau Jaya Katha, dan pula terhadap Siwa Wandhira, itulah sebabnya lepas tidak terkena senjata.
Adapun setibanya beliau di Tumapel, disayang oleh yang mendirikan memerintah Tumapel, diasuh oleh orang Japara, masih merupakan keturunan istri Mpu Sendok, dan Kebo ljo, di sana dipelihara, tidak mendapat kekuasaan. Beberapa lama mereka berada di Tumapel, setelah tiba masanya, akhirnya Jaya Katha berputra tiga orang laki-laki, yang sulung bernama Arya Wayahan Dalem Manyeneng, ketika ibunya dibawa lari janin itu berada dengan selamat di rahim ibunya, itulah sebabnya diberi nama Dalem Manyeneng.
Adapun adiknya bernama Arya Katanggaran, itu yang menurunkan Kebo Anabrang, orang tua dari Arya Kanuruhan, yang dikirim ke Bali, mengembangkan keturunan, yaitu Arya Brangsinga, Tangkas, Pagatepan, sampai di sana diceritakan.
Putra yang bungsu bernama Arya Nuddhata, seorang Arya yang menetap berdiam di Tumapel mengembangkan keturunan di kerajaan di Jawa, tidak diceritakan lebih lanjut.
Adapun beliau Arya Wayahan Dalem Manyeneng, berputra dua orang laki-laki, yang sulung bernama Arya Gajah Para, adik beliau bernama Arya Getas, Mereka berdua itu diutus oleh Gajah Mada ke Bali, demikian uraiannya pada zaman dahulu.
Ya Tuhan yang bersemayam dalam kalbu dan pikiran, yang diwujudkan dengan Ongkara dalam kesucian Batara junjungan hamba, para leluhur yang telah suci, hamba menghaturkan sembah suci agar berhasil, oleh karena semua para anggota keluarga, keturunan, karena beliau yang pertama mengembangkan keluarga hamba sendiri, tiada lain beliau itu yang menetap di Tumapel. Beliau itu adalah Arya Wayahan Dalem Manyeneng, gelar beliau yang terkenal. Beliau yang pertama menurunkan keluarga hamba, maafkan agar tidak kena kutukan, para keluarga hamba mohon ijin untuk menguraikan cerita ini, semoga selamat dan panjang umur, menemui kesempurnaan, sampai anggota keluarga dan keturunan, berhasil dalam segala tujuan, tidak kekurangan pangan, kekayaan, semoga tetap disegani di bumi. Ya Tuhan semoga sukses, berhasil selalu.
Permulaan cerita disusun dalam silsilah, berkat jasa beliau seorang brahmana pendeta sakti, beliau bergelar Wayahan Tianyar, yang berasrama di Griya Punia, atas dorongan Kyayi I Gusti Ngurah Tianyar, pemimpin di utara gunung, keturunan beliau Jaya Katong dari Kediri, itulah sebabnya sang pendeta sakti, menulis tentang silsilah , telah dimuat dalam tulisan sesuai dengan bahasa dalam babad Jawa.
Adapula diceritakan, bernama Kriyan Patih Gajah Mada, memanggil Arya Damar, atas titah dari maha raja Pulau Jawa, melaksanakan empat daya upaya, menyerang kerajaan Bali, setelah siap perbekalan dan kendaraan, segeralah beliau berangkat ikut pula para Arya semua, para perwira dan menteri berkelompok-kelompok menaiki perahu, disertai pula prajurit beliau, tepi laut Bali dikelilingi oleh musuh, para Arya itu dibagi-bagi oleh Kriyan Patih Mada, utara, timur, barat selatan semuanya penuh, penuh sesak di pantai laut, yang masing-masing menempati posisinya, ditambatkan perahunya.
Adapun beliau Arya Gajah Para, beserta saudara beliau Arya Getas, disertai oleh Arya Kutawaringin yang cekatan, diikuti oleh Jahaweddhya, para gusti dari Majapahit, seperti tiga patih bersaudara, yang bernama Tan Kawur, Tan Mundur, dan Tan Kober. Beliau tiga bersaudara menambatkan perahu layarnya di pelabuhan Tejakula, yang menyerang dari barat Toya Anyar.
Desa-desa menjadi kacau balau, semuanya yang ada di kerajaan Bali, sangat ramai pergulatan perang itu, memarang diparang, kacau balau, banyak rakyat yang tewas, dan menderita, karena keperkasaannya serangan dan Pulau Jawa. Dengan sekejap kalah pasukan Maharaja Sri Bhedamuka (Bedahulu), amat panjang tidak diceritakan dalam buku ini.
Sementara setelah gugurnya maharaja Bhedamuka, para Arya itu semua kembali, menuju Majapahit, keadaan Pulau Bali menjadi sunyi senyap, karena belum ada yang memimpin Bali, demikian. Setelah sekian lama datanglah Sri Kresna Kepakisan, dinobatkan menjadi raja di Pulau Bali. Diikuti oleh semua Arya, Arya Kepakisan, Arya Wang Bang, Arya Kenceng, Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Kanuruhan, lagi beliau Arya Wang Bang, Tan Kober, Tan Kawur, Tan Mundur, yang terakhir Arya Kutawaringin semua mengiringi sebagai para perwira menteri, Beliau Arya Kutawaringin, menjadi kepala penasehat pasukan tinggi tersebut.
Sesampainya Sri Maharaja Kapakisan, dinobatkan menjadi raja Pulau Bali, orang- orang dusun ada yang tidak mau menghormati ( tunduk ), yang di sebelah utara gunung Agung, oleh karena tidak ada pemimpin yang disegani yang datang di sana. Demikian cerita berakhir.
Kemudian kembali diceritakan, beliau Arya Gajahpara, bersama saudara beliau Arya Getas didesak oleh raja, sebagai mahapatih raja yang ada di Bali. Beliau menurut ( menyerah ), karena ingat dengan kewajiban sebagai seorang anak, tidak pantas melawan perintah orang tua, demikian motto kepemimpinan beliau, dengan tetap pula melaksanakan keperwiraan utama dan keadilan, kedua Arya tersebut diberikan istri, juga merupakan putra Arya. Tetapi di sana para Arya itu segera diajar tentang kewajiban dan tingkah laku seorang kesatria, oleh ayah beliau, untuk tetap melaksanakan cita-cita kewajiban seorang pahlawan (pemberani).
Setelah demikian, kedua Arya itu menyembah dan mohon pamit, berdiri dan segera berangkat. Sekejap telah sampai di pantai laut, segera beliau naik ke perahu, perahu berlayar hilir mudik, setelah melewati pertengahan laut, selanjutnya, berlabuhlah beliau di daerah Pulaki, barat daya Pulau Bali, beliau menumpang di rumah I Gusti Bendesa Pulaki, yang merupakan keluarga keturunan Bendesa Mas. Sangat senang hati I Gusti Bendesa, tulus hatinya dan sangat ramahtamah sambutannya, hormat terhadap kedua Arya itu, seperti berbunga-bunga hati sang tuan rumah, lengkap dengan jamuan penyambutan I Gusti Bendesa Pulaki. Di sana beliau menginap dua malam.
Pagi-pagi pergilah kedua Arya tersebut, diantar oleh I Gusti Bendesa, tujuannya untuk menghadap Sri Maharaja, yang beristana di Samprangan. Tidak habis jika diceritakan perjalanan kedua Arya tersebut, diantar oleh beliau I Gusti Bendesa. Segera tiba di penghadapan, beliau langsung mendekat dan menghadap pada baginda raja. Tak lama antaranya kedua Arya tersebut dipandang oleh sang raja, dengan sopan dan tulus sembah kedua Arya tersebut, demikian pula I Gusti Bendesa, menimbulkan kekaguman setiap yang melihat, orang yang berada di tempat penghadapan, oleh tingkah laku yang baik kedua Arya itu.
Ada petunjuk dari sang raja, terhadap kedua Arya, dinobatkan menjadi patih oleh beliau raja penguasa, bertempat di sana di sebelah utara Tohlangkir, bermukim di Sukangeneb penyerangan beliau Mada untuk membunuh raja Bedha Murdhi ( Bedahulu ), kalahnya Pulau Bali oleh Majapahit. Menjadi patuhlah Arya itu, dengan segera ditutuplah penghadapan raja. Setelah itu mohon pamitlah beliau pada Sri Maharaja, dan permohonannya dikabulkan, kedua Arya itu berjalan menuju ke utara, diiringkan oleh rakyat sebanyak lima puluh orang, menuju Sukangeneb Toya Anyar. Setibanya di sana, segera beliau membangun rumah, tenanglah penduduk sebelah utara gunung Agung itu, batas sebelah timurnya adalah Basang Alas, sebelah baratnya sampai di Tejakula, sebelah utaranya sampai di desa Got, demikian batas wilayah kerja beliau, wilayah pemerintahan Arya Gajah Para, berdua beserta saudara beliau.
Beberapa lama kemudian beliau Arya Gajahpara berdua bersama saudara beliau, hidup di Sukangeneb Toya Anyar, beliau berdua sama-sama memiliki putra. Adapun putra beliau Gajah Para tiga orang laki-laki dan perempuan, laki-laki yang sulung I Gusti Ngurah Toya Anyar, adiknya ( bernama ) I Gusti Ngurah Sukangeneb, yang perempuan Ni Gusti Luh Raras, diambil dijadikan istri oleh beliau Sri Raja Wawu Rawuh, untuk sementara tidak diceritakan.
Beliau Arya Getas yang diceritakan sekarang, berputra dua orang laki-laki, yang tertua bernama I Gusti Ngurah Getas, adiknya diberi nama I Gusti Kekeran Getas. Adapun beliau Arya Getas, setelah berputra dua orang diadu oleh Sri Maharaja, disuruh menyerang daerah Selaparang, karena beliau menguasai empat daya upaya yang licin, diikuti oleh seribu enam ratus orang bawahannya, setelah semua lengkap dengan perbekalan dan kendaraan, menjadi penuhlah desa-desa pesisir di sepanjang pantai, beliau bersama semua rakyatnya hilir mudik menaiki perahu.
Setelah itu berhasillah beliau berlabuh di tepi pantai Selaparang, turun dari perahu, berjalan beliau Arya Getas. Rakyat Selaparang menjadi terdiam, oleh karena beliau ( Arya Getas ) berhasil memasang empat daya upaya yang licin, beliau langsung menerobos memasuki semua desa, orang-orang yang berada di Praya semua diam, semua memberi hormat kepada Arya Getas, itu sebabnya ( beliau ) tinggal di Praya sampai sekarang dan mengembangkan keturunan.
Diceritakan kedua putra beliau yang tinggal di Sukangeneb Toya Anyar, sama-sama mengembangkan keturunan, telah tercatat. Kembali diceritakan, tersebut I Gusti Ngurah Sukangeneb, pindah ke arah barat, diikuti oleh rakyat dengan tiba-tiba, terlunta-lunta perjalanan beliau, sampai tiba di desa Pegametan, bergegas penduduk di sana, disambut oleh I Gusti Bendesa Pegametan, keturunan dari Bendesa Mas, senang hati I Gusti Bendesa sama-sama memohon maaf dengan tulus dan sopan, tidak beberapa lama masuklah di sana I Gusti Ngurah Sukangeneb, bergandeng tangan dengan I Gusti Bendesa, yang menjadi penguasa di Pegametan, masuk ke dalam Puri, duduk di beranda rumah, beliau sama-sama senang saling bertukar pikiran dan berunding, tidak diceritakan jamuan beliau I Gusti Bendesa. Karena saling mengasihi dari dulu.
Waktu telah berlalu, sekarang I Gusti Ngurah Sukangeneb, beliau berdiam di Pegametan, menyebabkan I Gusti Bendesa menjadi akrab, dengan I Gusti Sukangeneb. Oleh karena itu dijadikan menantu laki oleh I Gusti Bendesa. I Gusti Ngurah Sukangeneb. Permintaan I Gusti Bendesa agar I Gusti Ngurah Sukangeneb dikawinkan dengan I Gusti ……………………………..Kekeran, I Gusti Getas, dinikahkan pada hari, Senin Umanis, Wuku Tolu, tanggal empat belas hari terang bulan, sasih kelima ( sekitar Nopember ) pada tahun Saka 1560 ( 1638 M). Tidak diceritakan perkawinan beliau, pada akhirnya beliau mempunyai dua orang putra, laki-laki, yang sulung I Gusti Gede Pulaki, adiknya I Gusti Ngurah Pegametan. Cerita selesai sampai di sini.
Selanjutnya kembali diceritakan, tersebutlah I Gusti Ngurah Toya Anyar, ada saudara beliau, laki-laki dua orang dan perempuan seorang. Adapun yang tertua I Gusti Ngurah Tianyar, beliau yang dinobatkan menggantikan ayah beliau Arya Gajah Para, yang ketiga mengambil istri I Gusti Ayu Diah Wwesukia, adiknya I Gusti Ngurah Kaler, kawin dengan I Gusti Diah Lor. Adiknya yang bernama I Gusti Luh Tianyar, dijadikan istri oleh Pendeta Sakti Manuaba. Adapun I Gusti Ngurah Getas, dan I Gusti Ngurah Kekeran Getas, beliau tinggal di Sukangeneb, Toya Anyar, beliau sama-sama mengembangkan keturunan.
Kemudian kembali dikisahkan, diceritakan I Gusti Ngurah Tianyar, beliau yang dinobatkan menjadi tetua di Toya Anyar, generasi ketiga, putra beliau yang seibu yaitu I Gusti Ayu Diah Wwesukia. Putra tertua ( bernama ) I Gusti Gede Tianyar, yang selanjutnya berdiam dan memiliki keturunan di Kebon Culik, putra kedua ( juga ) laki-laki bernama I Gusti Made Tianyar, yang kemudian tinggal dan berkembang di Sukangeneb Toya Anyar. Putra yang bungsu I Gusti Nyoman Tianyar, beliau ( yang ) lahir di Desa Pamuhugan, tidak berbeda seperti leluhur beliau dahulu, janin itu selamat dalam rahim ibunya yang sangat setia kepada suaminya, berkat anugerah beliau sang raja penguasa di Gelgel, ketiganya itu diijinkan kembali ke Toya Anyar.
Sekarang kembali diceritakan I Gusti Ngurah Kaler, mempunyai empat orang putra dari seorang ibu lahir dari I Gusti Ayu Diah Lor, putra tertua bernama I Gusti Gede Kaler, pindah menuju desa Antiga, berdiam di sana dan mengembangkan keturunan, putra kedua I Gusti Made Kekeran, pindah menuju Desa Kubu, berkembang di sana. Putra ketiga I Gusti Nyoman Jambeng Campara, pindah ke Desa Sukadana Tigaron, menetap dan mengembangkan keturunan di sana. Adapun yang bungsu I Gusti Ketut Kaler Ubuh, lahir di Tanggawisia, beliau dijuluki Ubuh, karena ayahnya meninggal pada saat masih dalam kandungan ibunya Sang Diah yang setia terhadap suami, akhirnya tinggal dan mengembangkan keturunan di Tanggawisia, dihentikan penuturannya sebentar. Cerita kembali lagi, pada I Gusti Gede Pulaki, diambil anaknya I Gusti Bendesa Pulaki, dikawinkan menjadi istri bernama I Gusti Luh Mas. Selanjutnya I Gusti Ngurah Pegametan, beliau tinggal di desa Pegametan. Adapun saudara beliau I Gusti Gede Pulaki, tinggal di desa Pulaki, putra beliau laki-laki, terlanjur sudah, beliau meninggal. Sedih hatinya I Gusti Gede Pulaki.
Diceritakan sekarang Batara Nirartha, adik dari Mpu Angsoka, putra dari Hyang Danghyang Asmaranatha, beliau menemukan kemurahan batin, datang di Bali, menaiki buah labu (waluh kele), dan sampan yang bocor, mendarat di tepi pantai Purancak, mampir di pondok I Gusti Gede Pulaki, beserta putra beliau semua. Ada putra Batara Nirartha, laki perempuan lahir dari golongan Brahmana Keturunan Daha, yang sulung sangat cantik dan parasnya menawan, tidak ada yang menyamai di dunia, harum semerbak baunya. Adiknya bernama Pedanda Kemenuh, lagi pula ada saudara beliau seorang perempuan, menikah dengan Mpu Astamala beliau dari Aliran Budha
Ada pula anak beliau yang lahir dari putri Brahmana dari Pasuruhan, empat orang laki-laki, tertua Pedanda Kulwan, Pedanda Lor, Pedanda Ler. Ada lagi putra dari Pedanda Batara Nirartha, laki perempuan, ibunya dari golongan Kesatria saudara dari Dalem Keniten Blambangan, bernama Patni Keniten. Istri Pedanda Rai, pendeta perempuan tidak bersuami, Pedanda Telaga, Pedanda Keniten.
Kembali lagi pada cerita, Batara Nirartha, berada di pondok I Gusti Gede Pulaki, disambut dan diterima oleh I Gusti Gede Pulaki, beliau berucap "Aum-aum hamba sangat bahagia atas kedatangan sang pendeta, apa tujuan tuan pendeta, katakan yang sebenarnya", Danghyang Nirartha menjawab, "Aum Ngurah Gede Pulaki, tujuan saya datang padamu, maksud saya untuk menyembunyikan putraku sekarang, takut saya jika ia datang di kerajaan menghadap pada raja, karena harum semerbak bau tubuhnya, juga sangat cantik paras mukanya, maksud saya sekarang untuk menyatukan kembali ke alam sepi (alam gaib), I Gusti Gede Pulaki menyetujui dan berkenan mengantar, seraya memohon ikut ke alam gaib ia bersedih dan berduka karena terputus keturunannya, tidak ada lagi putranya, diam ( lah ) Batara Nirartha, memikirkan perasaan hati I Gusti Gede Pulaki. Maka bersabdalah Batara Nirartha, sabdanya, "Duhai Ngurah Pulaki, apa sebabnya demikian, menjadi sangat sedih perasaan hatimu, janganlah engkau demikian". Bersikeras I Gusti Gede Pulaki, memohon restu, agar ia mengiringkan menuju alam gaib. Dengan demikian dikabulkan semua perkataan I Gusti Gede Pulaki, bersama putra beliau, beserta semua prajuritnya mengiringkan putra beliau (Batara Nirartha) tidaklah nampak lagi di alam nyata oleh semua orang.
Diceritakan sekarang berhubung dipenuhinya permintaan I Gusti Ngurah Pulaki, senanglah hati beliau, maka menyiapkan prajurit, kemudian disuruh membuat upacara selamat, di Pura Dalem, lengkap dengan sanggar cucuk, masing-masing pasukannya disuruh untuk memasang di pintu masing-masing, pada had Kamis Kliwon, lengkap dengan sesajennya. Dengan sekuat tenaga Batara Nirartha, melakukan yoga smertti, terhadap Batara Berawa, beserta penghormatan dan permohonan, kemudian dianugerahi beliau oleh Batara sarana untuk tidak tampak di alam ini, oleh semua orang.
Segera setelah itu ada terlihat tabung bambu kuning bergelayutan, tanpa gantungan, dari dalam sebuah tempat pemujaan di kahyangan ( pura ), tidak lama kemudian keluar baju loreng, dari lubang tabung bambu kuning tersebut. Segera diambil baju itu oleh semua orang. Demikian pula I Gusti Ngurah Pulaki, sama-sama disuruh mengenakan pakaian itu, masing-masing sebuah, di sana orang-orang itu semua dan I Gusti Ngurah Pulaki, segera berubah wujud, menjadi harimau, desa tempat tinggal itu, hilang tidak tampak di alam ini. Adapun putra beliau Batara Nirartha, secara gaib menyatu di alam tidak tampak, berdiam di Mlanting, di puja oleh orang yang tidak kelihatan (samar), sampai sekarang.
Cerita kembali lagi, waktu I Gusti Ngurah Pulaki, memohon berubah wujud menyatu dalam alam tidak tampak mengikuti Batara di Mlanting, I Gusti Ngurah Pegametan, sedang tidak ada di rumah, beliau pergi mengunjungi Bendesa Kelab, yang berada di Jembrana. Beberapa hari berada di sana, kembali pulang dia ke Pulaki, bersama semua pengiringnya, tidak diceriterakan dalam perjalanan, segera sampai di perbatasan desa, kaget perasaannya I Gusti Ngurah Pegametan, karena tidak seperti sedia kala, bingung perasaan I Gusti Ngurah Pegametan ………………….
"Wahai saudaraku, apa sebabnya tidak tampak olehku penduduk desa itu, tidak seperti sedia kala tempat tinggal desaku saat ini ".
Kemudian terdengarlah suara-suara binatang bercampur dengan suara harimau, mengaum ribut tiada tara. Terkejut perasaan I Gusti Ngurah Pegametan, tidak kepalang tanggung hati I Gusti Ngurah Pegametan, ingin mengadu keberaniannya, beliau marah dan mengumpat-umpat, ujarnya " Hai engkau harimau semua, tampakkanlah wujudmu, hadapi keberanianku sekarang.
Segera I Gusti Ngurah Pegametan melangkah, tidak kelihatan yang bersuara gemuruh itu, kemudian beliau berjalan hendak meninjau Toya Anyar. Berjalan beliau bersama prajurit, sampai tiba di Rajatama, perjalanannya diikuti oleh wujud yang maya itu, sekilas tampak berupa harimau, semua pengikut itu perasaannya menjadi takut, semakin mendekat harimau itu, perilakunya seperti orang menghormat, menunduk pada I Gusti Ngurah Pegametan, kemudian mengumpat serta menghunus keris. Jadi hilang rupa bayangan itu, segeralah beliau melanjutkan perjalanan. Tidak diceritakan desa yang telah dilewati, orang-orang yang mengiringinya, diceritakan sekarang telah sampai di desa Wana Wangi, banyak pengiring itu berlarian teringat para pengiring yang hilang sebanyak lima puluh orang, karena jurangnya menyulitkan berbahaya dan terjal diliputi oleh gelap, tidak terlihat keberadaan di dalam hutan.
Tidak terpikir oleh I Gusti Ngurah Pegametan, tidak menghiraukan lembah terjal perjalanan beliau, segera sampai di Samirenteng. Menuju ke timur perjalanan beliau, sampailah beliau di hutan sekitar Sukangeneb Toya Anyar. Beristirahatlah beliau di sana, dihitung prajuritnya, dulu diiringi oleh dua ratus prajurit, telah hilang tersesat lima puluh orang, sekarang pengiringnya tinggal seratus lima puluh orang, itulah sebabnya ( tempat itu ), bernama Desa Karobelahan sampai sekarang.
Adapun lima puluh orang pengikut yang tersesat, dikumpulkan bertempat di Bengkala. Adapun beliau I Gusti Ngurah Pegametan, beserta pengikut menuju keluarganya di Sukangeneb Toya Anyar. Tidak diceritakan sekarang untuk sementara.
Cerita kembali lagi, sekarang diceritakan beliau Arya Gajah Para, setelah lama beliau berada di Sukangeneb, Toya Anyar. Karena masa tuanya, pada saatnya akan dijemput oleh Kala Mrtyu ( Kematian ), sudah tampak tanda-tanda kematiannya. Sudah diyakini oleh beliau, tidak boleh tidak beliau pasti akan meninggal.
Ada pesan beliau terhadap cucunya, yang bernama I Gusti Ngurah Kaler, katanya " Wahai cucuku Ngurah Kaler, apabila nanti saya meninggal buatkan panggung jasadku, di sana di puncak gunung Mangun, satu bulan tujuh hari (42 hari), dihias dengan bunga-bunga, dan diiringi dengan tabuh dan tari-tarian, karena ibuku dulu bidadari". Demikian pesan beliau Arya Gajah Para terhadap cucunya I Gusti Ngurah Kaler, cucu beliau mematuhi, tidak berani menolak pesan kakeknya.
Tidak diceritakan lagi telah tiba saatnya maka wafatlah beliau Arya Gajah Para. Adapun cucu beliau yang bernama I Gusti Ngurah Tianyar, tidak mengetahui wasiat tersebut, karena ( pada saat itu ) beliau tidak berada di rumah, beliau pergi ke Gelgel, menghadap pada Sri Maharaja, bersama-sama dengan I Gusti Ngurah Pegametan, sama-sama berada di Gelgel.
Tidak diceritakan lagi, setibanya kembali I Gusti Ngurah Tianyar, beserta saudaranya, dijumpai orang-orang di pun, semua menyongsong I Gusti Ngurah Tianyar, memberitahukan tentang wafatnya Arya Gajah Para. Kaget dan terhenyak hati yang baru tiba, berpikir-pikir tentang wafatnya, segera datang I Gusti Ngurah Kaler, diberitahukan ada pesan beliau (Arya Gajah Para), bahwa disuruh untuk membuatkan panggung jasad beliau di puncak gunung Mangun. Demikian perkataan beliau I Gusti Ngurah Kaler terhadap kakaknya. Diam I Gusti Ngurah Tianyar, berpikir-pikir beliau. Tidak disetujui semua ucapan yang disampaikan I Gusti Ngurah Kaler, bersikeras pula I Gusti Ngurah Tianyar, menyuruh semua rakyat, untuk membantu bersama-sama mengerjakan bade ( tempat usungan mayat ) bertumpang sembilan, pancaksahe, taman agung cakranti tatrawangen, beserta segala upakara ngaben seperti lazimnya orang-orang berwibawa bernama anyawa wedhana, harapan beliau agar segera jasad leluhurnya dikremasi. Karena hari baik sudah dekat, itu sebabnya masyarakat itu beserta tamu semua segera membantu bekerja baik laki maupun perempuan, membuat upakara ngaben (pitra yadnya).
Diceritakan sekarang I Gusti Ngurah Kaler, kembali ingat dengan wasiat pesan leluhurnya dahulu, tidak berani menolak setia pada perintah, semakin khawatir I Gusti Ngurah Kaler terhadap kakaknya I Gusti Ngurah Tianyar. Diceritakan I Gusti Ngurah Tianyar, menyuruh rakyat beliau memulai mengerjakan terhadap upacara pengabenan, setelah beliau tentukan, saat pelaksanaannya, tidak diceritakan upacara tersebut. Tersebutlah sekarang I Gusti Ngurah Kaler, semakin besar dendam hatinya, banyak alasannya, marah, terhadap I Gusti Ngurah Tianyar. Itu Sebabnya I Gusti Ngurah tidak ingat terhadap kakaknya, terikat oleh kesetiaan beliau, yakin terhadap kebenaran ucapan wasiat leluhur beliau, perasaan hatinya yang marah tidak dapat dikendalikan, segera kakaknya ditantang berperang, marah I Gusti Ngurah Tianyar, memuncak kemarahannya, sama-sama tidak mau surut kejantanannya, sebagai seorang kesatria untuk mendapatkan kemashuran di ujung senjata utama, lagi pula prajurit sama-sama prajurit, semua setia membela kehendak tuannya, sama-sama beringas, saling parang memarang, terus menerjang berbenturan. Lagi pula peperangan beliau I Gusti Ngurah Tianyar, dengan I Gusti Ngurah Kaler, sama-sama gagah berani, sangat hebat peperangan itu, bagaikan perang kelompok raksasa, banyak rakyat hancur menjadi korban, darah bercucuran, dan mayat para prajurit menggunung, itu sebabnya diberi nama Tukad Luwah sampai sekarang. Adapun peperangan I Gusti Ngurah Kaler, dengan I Gusti Ngurah Tianyar, sama-sama tidak berkurang keberaniannya, sama-sama saling menikam. I Gusti Ngurah Kaler menikam dengan keris Si Tan Pasirik, tembus dada I Gusti Ngurah Tianyar, membalaslah ia menikam dengan keris " I Baru Pangesan ", sekejap sama-sama meninggal beliau berdua.
Kemudian datang I Gusti Abyan Tubuh, bersama I Gusti Pagatepan, yang merupakan utusan dari Sri Raja penguasa di suruh untuk melerai pertikaian mereka berdua. Agar tidak terjadi perkelahian, karena dia bersaudara, sekarang keduanya ditemukan telah meninggal, terhenyak I Gusti Abyan Tubuh, demikian pula I Gusti Pagatepan, memikirkan tentang kematiannya berdua, juga tentang ketidakberhasilan tugasnya, diutus oleh Sri Raja penguasa. Beliau segera kembali untuk menghadap Baginda Raja, tidak diceritakan perjalanannya I Gusti Abyan Tubuh, beserta I Gusti Pagatepan, tibalah mereka di Sweca Negara (Gelgel), segera mereka menghadap sang raja memberitahukan tentang meninggalnya mereka berdua karena berkelahi katanya. " Baiklah paduka Sri Prameswara, tidak membuahkan hasil yang baik tugas yang hamba emban dari paduka, hamba temukan keduanya telah meninggal. Melongo gundah hati sang raja, berpikir-pikir beliau, bahwa sungguh merupakan takdir Yang Maha Esa.
Sekarang diceritakan, putra I Gusti Ngurah Kaler, dan I Gusti Ngurah Tianyar, keturunannya sama-sama pria. Adapun putra I Gusti Ngurah Tianyar, yang sulung bernama I Gusti Gede Tianyar, adiknya bernama I Gusti Made Tianyar, yang bungsu bernama I Gusti Nyoman Tianyar, lahir di desa Pamuhugan, semua bijaksana, paham dengan segala ilmu pengetahuan. Diceritakan pula putra I Gusti Ngurah Kaler, empat orang laki-laki, yang tertua I Gusti Gede Kaler seperti nama ayahnya. Adiknya bernama I Gusti Made Kekeran, yang muda bernama I Gusti Nyoman Jambeng Campara, yang bungsu I Gusti Ketut Kaler Ubuh, lahir di Tanggawisia, karena di antara dua orang yang meninggal ( ayahnya ) sama-sama meninggalkan isterinya yang sedang hamil, itu sebabnya tidak ada yang melakukan satya, "menceburkan diri dalam api pembakaran mayat " kemudian setelah sama-sama kandungan mencapai usianya, pada saatnya lahirlah bayi itu sama-sama pria, ada di Desa Pamuhugan di Tanggawisia, hentikan ceritanya sebentar.
Sekarang diceritakan, tentang beliau Batara Sakti Manuaba, putra dari Batara Ler, ibunya dari I Gusti Dawuh Baleagung, dengan gelar Batara Buruwan, berhasil menjadi pendeta besar, mendapatkan tingkat kemuliaan yang tinggi, tidak ada yang menyamai tentang kependetaan beliau, bertempat di Manuaba. Banyak brahmana ikut tinggal di sana. Beliau mendengar tentang pertikaian I Gusti Ngurah Tianyar dan I Gusti Ngurah Kaler, yang sama-sama meninggal, beserta rakyatnya yang mati tidak terhitung jumlahnya. Menjadi kasihan beliau Batara Sakti Manuaba. Tujuan beliau datang untuk mengetahui keadaan sesungguhnya kedua orang yang bertikai tersebut. Tidak diceritakan perjalanan beliau sang Resi sakti. Tidak beberapa lama tiba beliau di Sukangeneb, Toya Anyar. Dijumpai saudara I Gusti Ngurah Kaler, perempuan seorang, berpengetahuan dan rupawan, bernama I Gusti Ayu Tianyar.
Disarankan oleh beliau sang raja penguasa, agar beliau melamar (meminang ), dikawinkan dijadikan istri sang Resi Wisesa. Tidak diceritakan beliau.
Ada anak lahir dari I Gusti Ayu Tianyar, laki-laki tiga orang, yang sulung bernama Ida Wayahan Tianyar, adiknya bernama Ida Nyoman Tianyar, yang bungsu bernama Ida Ketut Tianyar, bagaikan dewa Brahma, Wisnu, Çiwa kecerdasannya.
Cerita kembali lagi, diceritakan istri I Gusti Ngurah Tianyar, dan istri I Gusti Ngurah Kaler, mereka berdua sangat sedih, hatinya sangat duka, menyebabkan mereka meninggalkan puri. Bersama putra beliau yang masih bayi, diikuti oleh dua ratus orang pengikut, tujuannya untuk datang menghadap Sri raja, yang berada di Sweca pura (Gelgel). Adapun I Gusti Diah Lor, pergi meninggalkan rumahnya, bersama putranya, diiringkan oleh pengikut sebanyak dua ratus orang menuju Desa Tanggawisia, tidak diceritakan perjalanan beliau.
Adapun I Gusti Ayu Wwesukia, datang menghadap ke Gelgel, menghadap raja mohon belas kasihan dari beliau Dalem, dengan sopan dan hormat, terhenyak hati Dalem, melihat penderitaan I Gusti Diah Wwesukia, kemudian bersabdalah beliau. "Wahai engkau Wwesukia, aku paham dengan kesedihan yang menimpamu. Sekarang tabahkan hati dalam suka duka, karena sudah menjadi nasib, jangan engkau terlalu bersedih ingatlah akan kesetiaan sebagai seorang istri, jangan gundah, menyesali karma, aku berikan engkau tempat tinggal, beserta rakyat yang banyak yang akan menyertaimu, di sana di Desa Pamuhugan", demikian sabda Dalem. Senang hati I Gusti Diah Wwesukia, bagaikan disiram dengan air kehidupan, hatinya sangat senang, terdorong kesetiaannya sebagai seorang istri, lagi pula sabda beliau Dalem bagaikan sungai Gangga yang membasuh perasaan ternoda.
Diceritakan sekarang I Gusti Diah Wwesukia, memohon diri pada Dalem, bersama sama dengan pengikutnya, menuju desa Pamuhugan, beserta putra beliau yang bernama I Gusti Nyoman Tianyar, tinggal di Desa Pamuhugan, mereka menyiapkan dan menyuruh untuk segera bekerja, karena banyaknya pengikut, puri cepat terwujud, sampai di sana diceritakan.
Diceritakan sekarang I Gusti Diah Lor, setibanya di Tanggawisia, bersama dengan putra beliau yang bernama I Gusti Ketut Kaler Ubuh, diikuti oleh rakyat sebanyak dua ratus orang, juga ikut tinggal di sana, mengembangkan keturunannya, di Desa Tanggawisia wilayah Buleleng, sampai sekarang. Cerita kembali lagi, diceritakan sekarang yang berada di Sukangeneb, Toya Anyar, itu sudah dewasa, putra I Gusti Ngurah berdua, yang gugur dalam peperangan, Semuanya bernama I Gusti Gede Tianyar, I Gusti Made Tianyar, adapun I Gusti Gede Tianyar, menghadap pada Sri Raja penguasa di Sweca negara (Gelgel), menyampaikan tentang penderitaannya berada di Sukangeneb, Toya Anyar, lemah bagaikan diiris hatinya. Bersabda sang raja, menyuruh untuk berpindah tempat, tidak menolak perintah, I Gusti Gede Tianyar, kemudian mohon pamit pada beliau Dalem, berpindah ke Desa Kebon Dungus, tinggal beliau di sana, mengembangkan keturunan sampai sekarang. Adapun I Gusti Made Tianyar, tinggallah beliau di Sukangeneb, Toya Anyar, mengembangkan keturunan di sana sampai kemudian.
Selanjutnya diceritakan putra I Gusti Ngurah Kaler, I Gusti Gede Kaler Putra yang sulung, I Gusti Ngurah Tianyar Pohajeng pindah, berjodoh di desa Blungbang Antiga, Adiknya I Gusti Made Kekeran, berpindah ke Kubu, yang ketiga I Gusti Nyoman Jambeng Campara, segera pindah ke Desa Sukadana Tigaron, telah diceritakan dahulu semuanya mengembangkan keturunan, cerita selesai.
Diceritakan kembali, Batara Sakti Manuaba, putranya yang lahir dari I Gusti Ayu Tianyar yang sulung Ida Wayahan Tianyar, Ida Nyoman Tianyar, Ida Ketut Tianyar, sekarang sudah selesai didiksa (ditasbih) menjadi pendeta Siwa, dilantik oleh Batara Sakti Abah, karena beliau itu adalah saudara lain ibu, beliau mencapai puncak kemuliaan. Setelah selesai dilantik oleh pendeta mahasakti, ( putra ) sulung bergelar Batara Wayahan Tianyar, adiknya bernama Batara Nyoman Tianyar, yang bungsu Batara Ketut Tianyar, sama-sama menemukan puncak kemuliaan, lagi pula mereka bertiga dianugerahi keterampilan, Batara Wayan Tianyar, beliau diberi pangrupak ( alat tulis pada daun lontar ), Batara Nyoman Tianyar diberi pustaka, Batara Ketut Tianyar dianugerahi ilmu panah, semua sama-sama dipahami, pemberian guru pendidiknya, cerita selesai.
Selanjutnya diuraikan, yang bernama Gusti Ngurah Batu Lepang, di Batwan desa beliau, angkara murka dan dengki melihat asrama di Manuaba, sangat indah dan makmur, keberadaan Asrama Manuaba, semua brahmana yang berada di asrama itu, tidak urung diobrakabrik, oleh Si Ngurah Batu Lepang, oleh karena Batara Sakti Manuaba telah berpulang ke Surga.
Tetapi Batara Sakti Abah yang ditakuti oleh Si Ngurah Batu Lepang, sedang tidak berada di asrama, sedang bepergian ke Banjar Ambengan. Segera Si Ngurah Batu Lepang menyiapkan pasukan, lengkap dengan senjata, ingin menggerebeg Asrama Manuaba. Bergemuruh sorak para prajurit. Adapun Pedanda Teges menjadi takut, gemetar, memohon ampun pada Si Ngurah Batu Lepang, adapun para brahmana semua sama-sama untuk bertahan, sangat pemberani dan melawan, seperti perang antara dewa melawan raksasa, mundur berlari pasukan Si Ngurah Batu Lepang, dihancurkan, lain lagi ada yang mati. Si Ngurah Batu Lepang menjadi marah, maju dengan rakyat yang berlimpah, dikurung asrama tersebut. Adapun kaum brahmana, sama-sama tidak ada yang mundur, karena jumlahnya sedikit bergantian dipukul oleh lawan, tidak lama kalah asrama itu, hancur semuanya, banyak yang meninggal dan yang lainnya hancur, yang lainnya ada yang menjauh laki perempuan menuju desa tidak henti-hentinya menangis.
Adapun Ida Wayahan Tianyar, Ida Nyoman Tianyar, Ida Ketut Tianyar baru tanggal gigi pada waktu itu, perjalanannya menuju ke timur tiba di Bukit Bangli, di pertapaan Pedanda Bajangan. Tersebar berita I Gusti Dawuh Baleagung, mendengar kabar, di Gelgel, dicari tiga bersaudara yang berada di Bangli, karena masih ada hubungan cucu, tidak habis kalau diceritakan, datanglah beliau di Bukit Bangli, beliau menghadap Pedanda Bajangan, meminta ketiga cucu beliau, Ida Wayahan Tianyar, Ida Nyoman Tianyar, Ida Ketut Tianyar, semua senang. Memohon pamit pada Pedanda Sakti Bajangan. Tidak diceritakan dalam perjalanan, telah tiba di Gelgel, didengar oleh raja, bahwa Ida Wayan Tianyar datang, bersama semua saudaranya, diutuslah I Dewa Wayahan Tianyar ke istana, menghadap pada Dalem, disambut dengan lirikan yang manis, dan ucapan yang simpatik, ujar beliau. Duhai Ida Wayan Tianyar, masuklah ke teras, mari duduk mendekat, katakanlah sekarang tentang kesedihanmu.
Kemudian berkatalah Ida Wayan Tianyar, sebabnya asrama/pertapaannya hancur diserbu karena keangkuhan Si Ngurah Batu Lepang, diserang hancur beserta penghuninya, banyak meninggal yang ada di pertapaan, bersabdalah sang raja. Kata beliau, Duhai jika demikian, Si Ngurah Batu Lepang, " Hai semoga ia tidak berlanjut menemukan kewibawaan, karena ia perusak pendeta, menemukan kesengsaraan ( karena ) membunuh brahmana ". Demikian kutukan beliau sang raja , terhadap si Ngurah Batu Lepang.
Demikian pula Pedanda Sakti Abah melepaskan kutukan seperti senjata Bajra beracun ke luar dari mulut beliau, demikian umpat kutukannya. ''Sekarang Ida Wayan Tianyar beserta dua saudaranya, janganlah ragu-ragu dalam hati, saya memberikanmu tempat, ada keluargamu di Pamuhugan, Kyai Nyoman Tianyar nama beliau, juga aku akan memberikan pengiring, dua ratus orang beserta keris warisan dari ibumu, bernama Ki Tan Pasirik, dibawa oleh Kyayi Nyoman Tianyar, ini keris Si Baru Pangesan saya berikan kepadamu", Ida Wayan Tianyar menurut, demikian pula Ida Nyoman Tianyar, Ida Ketut Tianyar. Cerita sampai di sini dulu.
Tidak diceritakan Pedanda Teges setelah kalah/hancurnya Pertapaan Manuaba, kemudian dijarah semua isi pertapaan. Adapun Pedanda Sakti Abah, mendengar tentang kehancuran pertapaan, dirusak oleh Si Ngurah Batu Lepang, beliau marah dan mengutuk. "Jah tasmat (semoga hancur) Si Ngurah Batu Lepang dia sangat tidak berperasaan, congkak dan garang kepada kami brahmana, biadab membunuh brahmana pendeta, semoga dia tidak berlanjut menemukan kewibawaan, lagi pula terbenam dalam Yamaniloka (sengsara) pada bersumpah untuk Si Teges, jangan engkau saling mengambil (dalam perkawinan), dan menjalin kekeluargaan dengan keturunan Si Teges". Didukung oleh semua keluarga beliau.
Diceritakan Pedanda Sakti Abah lama berada di Pertapaan Pedanda Sakti Bajangan, di sana di Bukit Bangli, Pada suatu ketika, akhirnya menginjak dewasa ketiga adiknya, sudah wajar diupacarai, diberi penyucian (padiksan), oleh Pedanda Sakti Abah, sekarang berganti nama yang sulung Pedanda Wayan Tianyar, Pedanda Nyoman Tianyar, Pedanda Ketut Tianyar.
Adapun Pedanda Wayan Tianyar, kawin dengan seorang putri dari Kekeran, Pedanda Nyoman Tianyar beristrikan dari Intaran Badung, Pedanda Ketut Tianyar dari Blaluwan isterinya. Adapun Pedanda Sakti Abah, beliau pindah pertapaan ke Banjar Ambengan, selanjutnya bergelar Pedanda Lering Gunung. Selesai diceriterakan.
Kembali lagi diceritakan Si Ngurah Batu Lepang, setelah beberapa lamanya, menghancurkan pertapaan itu, lalu terbukti kutuk brahmana itu mengena, kegusaran, gundah gulana bercampur ( menyebabkan ) kesusahan hati, akhirnya menentang terhadap Sri raja, marahlah baginda raja, diperintahkan untuk mengangkat senjata, Sri raja hendak menghancurkan Si Ngurah Batu Lepang, karena kemarahan sang raja, maka berembug dengan keluarganya semua, perintah Si Ngurah Batu Lepang, "Terlebih dahulu gempur raja pada malam hari, agar meninggal" maka didukung oleh keluarganya semua, perintah Si Batu Lepang pula, menyuruh untuk membunuh semua keluarga dan isterinya, agar tak ada lagi yang diingat-ingat di rumah, sampai di sana diceritakan.
Diceritakan sang raja, para punggawa diperintahkan, untuk menghancurkan Si Ngurah Batu Lepang, semua keluarga sampai anak isterinya. Semua prajurit itu ribut mengangkat senjata, banyak tak terhitung, penuh menyebar ke mana-mana tak putus-putusnya dan para menteri sang raja, siap untuk menyerbu rumah Si Ngurah Batu Lepang, diserang bersama. Bingung Si Ngurah Batu Lepang, kehilangan akal, hingar bingar prajurit itu, saling berbenturan mendesak bergulat mengincar keadaan perang itu, meraba-raba tidak tahu dengan temannya, karena diliputi oleh gelap, itu sebabnya sama-sama menyalakan obor.
Sekarang kembali mengejar ke arah timur Si Ngurah Batu Lepang, mundur rakyatnya Si Ngurah Batu Lepang, karena banyak yang mati dan menderita, kemudian mengamuk Si Ngurah Batu Lepang, tidak dapat menahan hati, memarang, tombak-menombak menusuk kiri kanan, oleh karena gelap gulita.
Kemudian Si Ngurah Batu Lepang terhalang tidak melihat jalan, tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, karena banyak rakyatnya yang gugur, sisa dari yang gugur semua lari menuju rumah masing-masing. Bingung hati Si Ngurah Batu Lepang, masuklah ia ke rumah tempat mesiu, di sana dikejar diburu Si Ngurah Batu Lepang, dikelilingi oleh banyak prajurit, adapun belas kasihan perlakuan prajurit dan menteri semuanya, tak diijinkan membunuhnya dengan mengikat dan menyiksa. Sadar Si Ngurah Batu Lepang, bahwa dirinya akan dibunuh dengan siksaan oleh musuh, kemudian didekatilah bungkusan mesiu itu, kemudian dibakar, segera menyala menjulang tinggi sampai ke angkasa, Si Ngurah Batu Lepang pun segera meninggal, hangus beserta prajuritnya, demikian akibat kutuk brahmana, karena (dulu ) membunuh brahmana tidak berdosa, saat kematiannya lama menemukan hina sengsara.
Sekarang kembali diceritakan putra Batara Sakti Manuaba bagaimana keutamaannya yang bernama Bajangan, mempunyai tiga orang putra laki-laki, yang sulung bernama Pedanda Bajangan, Pedanda Taman, dan Pedanda Abyan. Pedanda Bajangan mendirikan pertapaan di Bukit Bangli, beliau berputra seorang bernama Pedanda Tajung. Adapun Pedanda Taman, mendirikan pertapaan di Sidhawa, putra beliau bernama Pedanda Manggis. Juga Pedanda Abyan, mencari pertapaan di Tagatawang, mempunyai dua orang putra laki-laki, disebut Pedanda Buringkit, Pedanda Made Tubuh. Adapun istri Batara Abah, berputra seorang laki-laki, disebut Pedanda Abah, beliau bertempat di Bajing, pemberian dari Sri Raja penguasa. Berputra empat orang laki-laki, yang sulung bernama Pedanda Kelingan, Pedanda Gunung, Pedanda Tamu, Pedanda Abah.
Adapun istri Batara yang bernama I Gusti Ayu Tianyar, keturunannya tiga orang laki-laki, yang tertua bernama Pedanda Wayan Tianyar, Pedanda Nyoman Tianyar, Pedanda Ketut Tianyar. Beliau merupakan Bagawanta Arya Dawuh, di Desa Singharsa (Sidemen). Adapun Pedanda Wayan Tianyar, memiliki dua orang istri, keturunan Arya Kekeran seorang, berasal dari Jasi seorang, ada putra lahir dari Kekeran, seorang laki-laki bernama Pedanda Kekeran, mempunyai seorang adik perempuan, bernama Laksmi Sisingharsa, lagi pula putra beliau yang lahir dari keturunan Jasi, bernama Pedanda Tianyar, seperti nama ayahnya, adiknya perempuan bernama Pasuruhan.
Beliau Pedanda Wayan Tianyar, yang memiliki dua orang istri, seorang dari Intaran, dari Blaluwan seorang, keturunan yang lahir dari ibu Intaran, Pedanda Wayan Intaran, Pedanda Made Intaran. Keturunan dari Blaluwan, seorang perempuan disunting oleh Pedanda Wayan Kekeran. Pedanda Ketut Tianyar, beristrikan Ngurah Sukahet, berputra tiga orang laki-laki, yang sulung bernama Pedanda Sukahet, Pedanda Made Wangseyan, dan Pedanda Ketut Wanasari.
Adapun istri Batara yang bernama Kutuh, mempunyai seorang putra laki-laki, bernama Pedanda Kutuh, kawin dengan perempuan dari Karangasern, memiliki empat orang putra laki-laki, Pedanda Wayan Karang, Pedanda Made Karang, Pedanda Nyoman Karang, dan Pedanda Ketut Karang.
Adapun Istri Batara yang berasal dari Sambawa, berputra seorang laki-laki, bernama Ida Raden, kemudian beliau berputra bernama Ida Panji, beliau sudah tercatat.
Diceritakan kembali, I Gusti Nyoman Tianyar, yang berada di Pamuhugan, melahirkan keturunan lima orang anak laki-laki, tertua I Gusti Ngurah Sangging, adiknya I Gusti Made Sukangeneb, I Gusti Nyoman Tianyar, I Gusti Ngurah Diratha, yang bungsu I Gusti Ngurah Intaran.
Pada akhirnya seperti mendapat petunjuk dari leluhur, habis semua isi rumah beliau, hutan ( ladang ) sawah, ada yang digadaikan, ada yang dijual, ke desa lain, oleh karena menuruti hawa nafsu, I Gusti Nyoman Tianyar menjadi tidak henti-hentinya bingung pikirannya, menjadi kasihan setiap ia melihat anak-anaknya yang masih kecil.
Kemudian di dengar oleh Batara Wayan Tianyar kasihan terhadap kesusahan I Gusti Nyoman Tianyar, maka beliau pergi menuju Desa Pamuhugan. Maka disuruhnya I Gusti Nyoman Tianyar, mengambil warisannya dahulu berupa sebidang tanah, yang berada di Sukangeneb.
Berkata I Gusti Nyoman Tianyar, Ucapnya. "Jika demikian saya tidak mau kembali ke Sukangeneb Toya Anyar". Berpikir-pikir Batara Wayan Tianyar, tentang kehancurannya di sana, terketuk hatinya sangat kasihan melihat keluarga beliau I Gusti Nyoman Tianyar" Wahai keluargaku semua, jangan anda di sini, mari bersama-samaku di Singarsa, saya memberi anda tempat, sebab kami tak bisa berpisah dengan anda".
Diceritakan sekarang I Gusti Nyoman Tianyar semua mengikuti Batara Wayan Tianyar, berbondong-bondong bersama anak isterinya, tidak diceritakan dalam perjalanan tiba di Singharsa, I Gusti Nyoman Tianyar disuruh membangun rumah di Abyan Sekeha, wilayah Dusun Ulah yang disebut Malayu, dijadikan pengawal pendamping dari asrama Batara di kota Singharsa.
Adapun putra beliau Batara Wayan Tianyar, yang bernama Batara Wayan Kekeran, pindah asrama ke Pidada, kawin dengan putra Batara Nyoman Tianyar, menjadi istri beliau, mempunyai dua orang putra, yang tua bernama Pedanda Nyoman Pidada, adiknya bernama Pedanda Ketut Pidada, sama-sama mencapai keutamaan. Pedanda Nyoman Pidada, pindah asrama menuju ke Pangajaran, Pedanda Ketut Pidada pindah pertapaan ke Sinduwati, sama-sama mempunyai keturunan. Kembali diceritakan Pedanda Wayahan Kekeran, yang berada di Pidada, memiliki seorang putra laki-laki lahir dari golongan bawah yang bernama Ni Jro Dangin, putra itu bernama Ida Wayan Dangin.
Sekarang diceritakan kembali Pedanda Wayan Intaran, berada di Gelgel, memiliki murid dari golongan Sulinggih empat orang. Adapun Pedanda Made Intaran, beliau berada di Toya Mumbul, beliau pindah dari Toya Mumbul, pindah menuju desa Duda, beliau menetap di sana, kawin dengan putra Pedanda Wayan Kekeran, berputra dua orang laki-laki bernama Pedanda Wayan Intaran, di Pendem. Pedanda Made Intaran. Adapun Pedanda Wayan Intaran memiliki anak dua orang, yang sulung bernama Pedanda Nyoman Intaran, Pedanda Ketut Intaran, mengembangkan keturunan di Pendem dan di Kediri Sasak. Adapun Pedanda Made Intaran, berputra dua orang laki-laki, yang sulung bernama Pedanda Nyoman Paguyangan, berasrama di Sindhu, Pedanda Ketut Tianyar di Pidada, ada keturunan beliau di Pasangkan berhasil dalam mengobati segala penyakit.
Diceritakan Pedanda Sukahet, memiliki dua orang istri, seorang putri dari Pedanda Wayan Kekeran, dari Banjar Kebon seorang, istri dari golongan Brahmana tersebut memiliki putra, namanya Pedanda Wayan Sukahet, (dan) Pedanda Made Sukahet, bertempat tinggal di Banjar Wangseyan, kemudian beliau pindah ke Wanasari, kemudian pindah lagi ke Pasedehan. Adapun putra beliau yang lahir dari istri yang berasal dari Banjar Kebon, bernama Ida Nyoman Banjar, keturunannya berada di Abyan Tubuh daerah Sasak. Adapun Pedanda Made Sukahet, memiliki putra laki-laki bernama Pedanda Sukahet, sedangkan Pedanda Wanasari, putranya bernama Pendeta Wayan Wanasari, beliau yang melahirkan keturunan yang berada di Sindhu daerah Sasak.
Cerita Kembali lagi, diceritakan putra beliau I Gusti Nyoman Tianyar, setelah waktu berselang lama, beliau yang memiliki lima orang anak kini telah tumbuh dewasa. Adapun I Gusti Ngurah Diratha, pindah rumah tinggal di Kubu Juntal, memiliki keturunan, di antaranya I Gusti Ngurah Bratha, kemudian berganti nama menjadi I Gusti Ngurah Bhujangga Ratha. Adiknya bernama I Gusti Ngurah Tianyar. pindah menuju Katawarah. menetap di sana. I Gusti Ngurah Cakrapatha, di Bhawana. Yang bungsu I Gusti Ngurah Gajah Para, di Kubu, mengembangkan keturunan yang berada di Tongtongan, Bubunan, Bondalem, Bakbakan, Antiga, Gamongan.
Adapun I Gusti Ngurah Intaran, mendirikan tempat tinggal di Banjar Getas Tianyar. Keturunannya ada tiga orang, I Gusti Ngurah Cadha, I Gusti Ngurah Cadha Sukangeneb, I Gusti Ngurah Bhojasem yang memiliki keturunan berada di Tista, semuanya memiliki keturunan. Adapun I Gusti Nyoman Tianyar, menjadi pengiring Pedanda Made Intaran, di Toya Mumbul, di sana menetap dan memiliki keturunan.
Adapun I Gusti Made Sukangeneb, berada di Singaraja, memiliki empat orang putra, yang sulung I Gusti Wayan Tianyar, pindah ke Badung. Adiknya bernama I Gusti Made Danti, pindah menuju Panghi. I Gusti Nyoman Tianyar pindah menuju Mataram di daerah Sasak, yang bungsu I Gusti Ketut Tianyar, menetap di Antiga.
Adapun I Gusti Ngurah Sangging, beliau masih menetap di Abyan Sekeha ikut dengan ayahnya. Kemudian beliau melakukan diksa, berganti nama menjadi I Gusti Wayan Tianyar.
Adapun I Gusti Ngurah Sangging, memiliki tiga orang anak. Putra tertua I Gusti Ngurah Subratha, adiknya I Gusti Ngurah Jathakumba pindah menuju Pangi, yang bungsu bernama I Gusti Ngurah Ketut Tianyar, pindah menuju Bajing, memiliki keturunan dua belas orang.
Adapun beliau I Gusti Ngurah Subratha, mulanya tinggal di Jumpungan, setelah didiksa kemudian pindah asrama ke Abyan Sekeha. Berganti nama menjadi I Gusti Wayan Tianyar Taman. Pindah asrama ke Sindu, menjadi pengikut Pedanda Ketut Pidada, pada waktu mendirikan asrama di Sindhu.
Adapula kolam peninggalan beliau di Patal, berupa tempat penyucian waktu di pertapaan, sangat kemilau dan menyenangkan di Patal, dihiasi dengan berbagai bunga, di tepi kolam tersebut, merupakan tempat bercengkrama Pedanda Ketut Pidada. Beliau juga mendirikan tempat pemujaan, tiga buah, sebuah untuk pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, ada (pula) titah beliau Pedanda Ketut Pidada terhadap I Gusti Wayan Tianyar Taman, Duhai anaku Wayan Tianyar, ini bangunan untuk memuja dewa, tiga buah. Ananda nantinya yang menjadi pemangku, kemudian saya juga berada di sana, dipersatukan dengan beliau Sang Hyang Siwa, jangan tidak disucikan, sampai nanti seterusnya, anda yang menjadi pemangku untuk keluarga saya, bagian yang sebelah utara diupacarai. Untuk semua keturunanmu, itu yang di sebelah selatan. Karena itu, jangan melupakan keturunan saya juga keturunanmu yang seterusnya dapat menemukan Surga (kebahagiaan). I Gusti Wayan Tianyar Taman mengiyakan, sampai ke lubuk hati, cerita disudahi.
Adapun I Gusti Wayan Tianyar Taman, beliau memulai menetap di Sinduwati, mengambil wanita menjadi isterinya dan keturunan Pulasari, memiliki putra seorang bernama I Gusti Gede Tianyar, kemudian beliau juga didiksa. Adapun I Gusti Gede Tianyar, berputra seorang laki-laki, tidak berbeda tingkah laku dengan leluhurnya, beliau juga didiksa, bernama I Gusti Gede Tianyar Sekar. Adapun I Gusti Gede Tianyar Sekar, memiliki tiga orang keturunan, I Gusti Gede Tianyar, I Gusti Made Tianyar Blahbatuh, adiknya I Gusti Made Tianyar Tkurenan, beliau pada akhirnya menjadi Rohaniwan.
Demikian perkembangan keturunan yang berada di Sinduwati, daerah Singharsa, lengkap dengan tempat pemujaan Dewa, bernama, Pura Puri Anyar Sukangeneb, diteruskan dari sejak dulu, masa kini dan masa yang akan datang. Cerita disudahi.
Ya Tuhan semoga selalu berhasil. Ini petunjuk/tingkah laku keturunan Manu, pesan beliau Batara Manu, agar ditaati oleh para keluarga dan keturunan, tentang lahirnya dari keturunan Manu. Jika petunjuk/kewajiban/ajaran ini sudah dikuasai, dapat menyebabkan kesembuhan/menghilangkan sengsara dalam diri, jika badan dapat dijaga dengan baik, atas perintah pikiran yang tak ternoda. Tidak tercoreng oleh noda-noda yang menyakitkan telinga, begitu pula nafsu dan tamak/loba, itu tujuannya untuk mendapatkan kesenangan yang besar, lebih-lebih keutamaan batin, kenali perbuatanmu masing-masing.
Singkatnya, ajaran/tuntunan perbuatan itu sungguh dipahami, dan dilaksanakan, jangan gegabah dengan segala perilaku, itu dapat menjagamu (agar) tidak menyimpang dari sifat-sifat manusia, oleh karena tahu akan penjelmaan. Tidak bercampur-baur dengan kaum Ekajati hendaklah dipilih yang pantas dijadikan sahabat, apa sebab demikian, karena engkau sungguh manusia yang baik, keturunan dari golongan Manu, hendaknya ingat dengan tugas masing-masing, lebih-lebih dalam melaksanakan aturan brata, utamakanlah kesetiaan dan kebaikan yang dapat mengontrol perbuatanmu, tidak diselingi perbuatan salah, perbuatan durjana, ini ajaranmu yang pantas diikuti dan dilarang mendatangkan mala petaka kutuk, ditujukan kepada siapa saja, ditujukan kepada semua keturunan dan warga Manu.
Pada jaman dahulu kala, di India, beliau Batara penguasa tertinggi, dapat dikalahkan, oleh musuh, ditangkap dipukul dan disiksa, tidak dapat membela diri, akhirnya lari dengan tidak menentu, ingin masuk ke tengah hutan, masuklah ia di bawah biji tumbuhan Jawa, dinaungi oleh tumbuhan hea beras, ada burung perkutut dan bayan, lagi pula (ada) sapi hitam mulus. Di sana burung tersebut memakan biji-bijian, menampakkan keadaan yang wajar, burung itu bersuara, sapi itu jinak tidak liar. Oleh karena demikian, dikira oleh musuh beliau Batara, tidak ada orang di sana, segera ditinggalkan, pada akhirnya selamatlah beliau. Pergilah beliau menuju Jawa, dinobatkan menjadi pemimpin negeri, beliau berwasiat, seketurunan Wisnuwangsa tidak memakan daging perkutut, dan Bayan, apalagi daging sapi yang bulunya berwarna hitam mulus, wija maya (Jawa), eha beras, sama-sama tidak boleh yang melanggar, oleh semua keluarga seketurunan golongan Wisnuwangsa.
Demikian wasiat beliau Batara Manu. Apabila tercela dalam kehidupan, lebih-lebih untuk mengabdi, terhadap keluarganya, akibat kesulitan penghidupan, oleh karena itu menjadi melanggar pedoman hidup, itu tidak merupakan dosa, berhak bila merendah terhadap saudara, sebab satu keturunan, seperti perputaran roda pedati, dapat di bawah dan dapat pula di atas. Jika engkau memohon bantuan/perlindungan terhadap orang bawah, ya dapat pula merendahkan derajat, berakibat menyimpang dari etika, menyebabkan terperosok ke dalam sumur mati, menjadi manusia biasa ( ekajati), tidak memiliki nama baik, senang makan minum kepunyaan orang lain, itu namanya hina, tidak dapat disucikan, ( hendaknya ) dijadikan pedoman bagi empat golongan manusia, janganlah engkau meniru perbuatan tersebut, semoga selamat, panjang umur, sempurna, sampai sanak saudara dan keturunannya, selamanya disenangi di bumi, ya Tuhan semoga senantiasa berhasil.
Ini adalah jenis busana (alat) yang dapat/bisa digunakan dalam upacara kematian, ijin dari beliau Sri Raja Batur Renggong, engkau bisa menggunakan busana manusia utama, sesuai dengan tata cara kerajaan (Dalem), menggunakan peti usungan, upacara penyucian, upacara Ngaben dengan membakar jenazah, bade ( tempat usungan ) bertumpang sembilan, taman agung, candra sari, cakraantita trawangan, tempelan kapas lima warna, sembilan tumpang warna warni, kain panjang, cemeti dari bulu merak yang panjang dan burung cendrawasih berkuncir, balai-balai dari bambu gading, gender yang digotong menyertai bade (tempat usungan), binatang singa bersayap, yang lain sapi/lembu jantan yang hitam, magumi undag sapta, balai silunglung, lengkap dengan kajang (kain penutup may at) dengan perlengkapannya, walantaga, pakelem yang dibuat dari emas, lengkap dengan kawat emas, parbha padma lenkara, bukan diikatkan pada galar. Harus diberi tirta (air suci) untuk ukuran yang utama dengan uang (harga) 16.000, menengah 8.000, sederhana harga 4.000,. Kelanjutan dari (upacara) kematian, boleh melakukan upacara Atma wedhana, upacara baligya sradha, menengah panileman, mangrorasin.
Demikian rangkaian upacara pengabenan tingkatan utama, boleh menggunakan kawat emas, itu perwujudan dari delapan penjuru arah yang di tengah-tengahnya terdapat bulatan yang bertuliskan Dasa Aksara. Berapa besar bahaya keutamaannya? Kamu tidak tabu, hanya keinginan untuk mempercayai orang lain, mengikat galar, tidak tahu dengan maknanya, jika engkau ingin mengetahuinya inilah sebenarnya, Hurat mawrat, tar porat, jika memakai perlengkapan yang berat ( berlimpah ), menengah namanya. Jika tidak memakai perlengkapan yang berbobot, bernama nista (sederhana). Jika menggunakan/berbobot perlengkapannya, bernama besar (utama). Rupa/fungsi kawat emas, bagaimana bentuk kawat mas? Kain putih, lebarnya seukuran destar, itu sebagai alas, simbul tikar, di tempel bentuk Ongkara kawat mas, tidak boleh digambari (dirajah) oleh orang kaum rendah (Sudra), yang berhak juga brahmana.
Setelah siap/sedia , dipasang di atas bagian hulu pawalungan, itu melambangkan padmanglayang, setelah jenazah diperciki dengan tirta pangentas, ditutupi dengan kawat emas, agar sama-sama terbakar dengan jenazah, itu bermakna utama.
Apa keutamaannya ? Ini kenyataannya, dahulu di Surga, pada waktu semua roh berkumpul, dijemur di teriknya panas, ada satu roh, terbebas oleh panas, tertutup oleh awan, kemudian ditanyai oleh Sang Suratma, diperiksa tulisan di kepalanya, menjawab roh itu, mengaku memakai kawatamas, berbentuk padma reka, itu sebabnya terbebas dari kekeringan. Itu kemudian ditiru oleh yang mengetahui keadaan tersebut, karena kawat emas itu sangat utama, demikian diberitakan, jangan ceroboh.
Ini petunjuk perilaku Arya Gajah Para yang menjadi rohaniawan. Bagi yang melaksanakan/menjadi Resi, diwajibkan melakukan diksa brata boleh mengenakan jujumpung dan rambut di sanggul , seperti pakaian seorang pendeta Siwasidhanta (sekta Siwa), juga boleh bercukur pendek seperti pendeta golongan Budha. Berpakaian serba putih, harus memakai tongkat yang berukuran panjang setinggi badan, pada ujungnya bhajra yantu, tidak boleh lepas tongkat itu, dibawa pada saat bepergian, sebagai tanda itu, untuk tidak salah tafsir. Jika sudah diberi tanda, menggunakan tongkat bhajra yantu, yang menjadi ujungnya, itu sesungguhnya adalah Bhujangga Resi, tidak keliru (bila) akan bertanya, karena masih ada yang menandakan. Jika dia Resi, Bhujangga, berjalan tanpa tongkat, itu dapat membuatnya terserang noda/kotor, bagaimana ia itu, ketiga aliran sulinggih, berjumpa di jalan, Semuanya menyapa, disertai tercakupnya kedua telapak tangan, serta membungkukkan badan, sang Resi segera berkata, mengaku dirinya bukan pendeta, mereka sang tri wangsa menjadi malu, dalam benaknya salah sangka, marah dalam hatinya, segera terdengar suara cemoohan, menimpa diri Sang Resi, itulah sebabnya berjalan dengan tongkat, baru kelihatan keadaan yang nyata (kejatiannya), wajah Resi Bhujangga, pendeta bertabiat tenang dan murid sang pendeta.
Demikian perilaku Resi Bhujangga, jangan tidak berhati-hati, menjaga tingkah laku itu, jelas sang Adi Guru, semoga tidak bercampur dengan pikiran kotor, bagaikan kristal permata, pikiran itu serta bersih berkilap tidak berawan, tidak menentang perintah, sang Adi Guru, sekalipun tertimpa hujan dan panas, berat ringan, lebih-lebih turun ke sungai jurang yang dalam dan tidak dirisaukan oleh orang yang menjunjung dharma, bising hening menahan lapar, dahaga menginginkan agar berhasil perintah sang Adi Guru, bersama orang yang wajib dihormati, sampai dengan keluarga sang Adi Guru, putri guru, kakak guru, adik guru, paman guru, kakek guru, keluarga guru, cicit guru seluruh anggota keluarga, kawan, keluarga sang Adi Guru, hendaknya semua dapat dihormati. Karena semua pengajar (guru) dianggap berasal dari perbuatan utama ( baik ).
Lagi pula seorang Resi tidak berhak mencarikan jalan bagi orang yang satu keturunan (sidikara) bila meninggal, jika mencarikan jalan keluarga, itu akan menjadi rendah (nista), bukan orang yang telah suci, apa sebabnya demikian, karena seorang Resi itu adalah dari keturunan, maka hilanglah keharumannya, tidak dapat disucikan/diupacarakan oleh sang pendeta Brahmana. Kemudian ada salah seorang berkeinginan untuk menyucikan diri menjadi pendeta, berlaku seperti Resi Bhujangga, itu tidak dapat didiksa, puasa, oleh beliau Mpu Dhang Guru Brahmana, karena murid Resi, bukan keturunan wiku, brahmana, seorang petani tulen menjadi utama, demikian celakanya bila dicarikan jalan oleh Resi.
Lagi jika upacara hayu (bukan duka ), upacara penyucian diri, upacara tentang kehidupan, itu dapat dipimpin oleh Resi, tetapi sebelumnya menyampaikan perkenan kepada Dhang Guru agar tidak berbuat sekehendak hati, lancar, bebas/terlepas dari kekurangan lebih-lebih membuat bingung, tidak berhasil, sebagai akibat kurang nasihat dari sang Adi Guru, ikut terbawa-bawa sang guru, oleh karena pelaksanaan keliru muridnya, itu juga sama-sama menyebabkan ditaati, memohon restu kepada sang Adi Guru, pada waktu melaksanakan upacara, lagi pula pada saat sang Guru dalam wujud Ardhanareswari menyatu ke alam sunyatmaka (Surga), Sang Resi harus mempersembahkan air suci pada kaki, menghaturkan penyucian kaki beliau. Juga pada waktu hari raya Galungan tiba, Kuningan, pada saat itu sang Resi (juga) mempersembahkan daging untuk pelaksanaan Galungan, sebagai persembahan layaknya hormat kepada Gumi. Lagi pula ingatlah tata krama itu, menghadap sang Adi Guru, jangan sembunyi-sembunyi, pergi (juga ) sembunyi-sembunyi, tidak mengabaikan bimbingan, tidak memalingkan muka, tidak salah dengar, tetap menatap muka, setiap berucap dan berkata dengan hormat, jangan menutupi pembicaraan yang tidak benar, tidak mencampuri pembicaraan Adi Guru, tidak menyangkal perintah, mempercepat dapat dimengerti, jangan tetap membenarkan terhadap apa yang belum benar, tidak mengeruhkan permandian sang Adi Guru, tidak menolak perintah, tidak menginjak bayangan sang Adi Guru, tidak menduduki tempat duduk sang Guru, tidak turun naik dalam perasaan, tidak memotong-potong pembicaraan sang Adi Guru, jangan sering lemah dan memudar, dan juga awasi dari kejauhan, jika belum nyata/ pasti tentang keadaan sang Adi Guru, jangan segera mencampuri, jangan berbicara dan menjawab dengan membalikkan punggung.
Demikian tata cara seorang putra guru, putri guru, kakak guru, adik guru, ada penghormatan yang tulus dari dalam hati, dengan suara yang lembut, bahasanya/nadanya datar, ucapannya mempesona, dengan perkataan Ida Bagus, Ratu Ida Ayu, lagi pula saat menghadap sang Adi Guru, jika terlihat putra sang Guru, putri guru, kakak dan adik guru, ajak (tawari) duduk bersama, jangan engkau menghalangi duduk, juga jangan membelakangi, jangan menyuguhkan makanan yang telah diambil dengan tidak teratur. Jika telah tiba saatnya meninggal, engkau dapat meminta untuk menggunakan Padmasana, apa sebabnya bisa, karena engkau merupakan perlindungan manusia, menjadi sahabat sang pendeta menceriterakan jalan/mengupacarakan orang yang telah meninggal, sekalipun engkau gadis yang kecantikannya telah menyusut, gadis (istri ) Resi panggilanmu, sama-sama bisa/dapat menjadi pelindung manusia, memakai gelung kesa gagato seperti pakaian istri pendeta.
Demikian tata cara sang Resi, taat terhadap sang brahmana, jangan mabuk menganggap diri tabu, engkau merupakan wadah berbunyi, sang pendeta yang mengisinya, menghidupkan, dan memberikan kekuatan jagat, beliau dianggap air kehidupan, sekalipun wadah itu bocor, tetapi memiliki kewenangan untuk menyalurkan kehidupan, berbeda dengan kulit seekor kambing, dipakai oleh Baladewa, menimba air dari sumur, sekalipun pekerjaan suci, waspadai baunya yang busuk, karena dicemari oleh tempat. Demikian perbuatan yang alpa, itu sebabnya di waspadai oleh yang menjunjung dharma ( kebenaran ), berusaha melaksanakan tiga perbuatan baik, agama, kebaikan, tingkah laku yang baik.
Ini purana (silsilah /cerita kuno ) tentang area perwujudan di Pura Puri Anyar Sukangeneb, yang berada di Sinduwati, Singharsa, dipuja oleh para keturunan beliau semua. Ahli waris yang memelihara, para keturunan Jro Gede Wiryya, keturunan dari I Gusti Gede Tianyar, beliau memang bersaudara, tiga, anak dari I Gusti Gede Tianyar Sekar.
Babad Ki Tambyak
Semoga tiada halangan dengan memuja Ongkara Bali (memuja Tuhan dalam wujud Aksara Suci), dengan anugerah Hyang Prajapati, segala bencana terhindari. Sujud hamba kehadapan leluhur, kehadapan Sang Hyang Bumipati, izinkanlah hamba mengutarakan kisah Arya Tambyak pada masa lampau. Semoga hamba tidak terkena kutukan leluhur, tidak durhaka, tidak tertimpa mala petaka, dan semoga berhasil dengan sempurna, menemukan keselamatan, panjang umur dan seluruh sanak keluarga hamba menemukan kebahagiaan.
Ada seorang brahmana sakti, datang ke Bali, menyertai Paduka Batara Putra Jaya yang bersemayam di pura Besakih, dan Sang Hyang Genijaya yang bersemayam di Gunung Lempuyang. Beliau adalah Begawan Maya Cakru yang gemar bertapa dan berasrama di Silayukti. Entah berapa hari lamanya baginda pendeta tinggal di Bali, dia pun bermain-main di Desa Panarajon di tepi Danau Batur. Tiba-tiba ia disusul oleh isterinya. Ketika tiba di Desa Panarajon, ia sangat kaget melihat isterinya menyusul perjalanannya. Baginda pendeta berkata:
"Wahai Adinda, apa sebabnya Adinda datang, menyusul perjalanan Kakanda, tanpa merasa lelah". Isterinya menjawab: "Sujud hamba kehadapan Paduka Pendeta, hamba berhasrat menyusul perjalanan Paduka". Begawan Maya Cakru menjawab: "Wahai istriku, Kakanda bermaksud menghadap Paduka Bhatari di Ulun Danu. Oleh karena Adinda sedang hamil, janganlah Adinda mengikuti Kakanda". Ketika sang pendeta berkata demikian, tampak isterinya masih tetap bersikeras menyertai suaminya, agar dapat menghadap Paduka Bhatari. Mereka berjalan amat cepat.
Tiba-tiba mereka sudah sampai di tepi Danau Batur, di sana ada sebuah batu datar terletak di bawah pohon kayu mas ( kayu sena ). Di sanalah isterinya duduk, oleh karena terlalu lelah dalam perjalanan. Tidak lama kemudian bayinya pun lahir dan jatuh di atas batu. Batu itu pecah. Baginda pendeta berkata: "Wahai anakku yang baru lahir, aku terpesona menyaksikan kelahiranmu, jatuh di atas batu, namun engkau tidak cedera dan tetap hidup. Karena itu, aku memberikan nama I Tambyak. Sekarang aku akan kembali ke alam dewa (moksa), semoga engkau selaku keturunanku tetap bahagia, panjang umur, sampai kelak tetap dikasihi oleh raja-raja Bali". Demikianlah kata-kata Begawan Maya Cakru, lalu beliau menggaib. Tidak dikisahkan lagi baginda pendeta, sekarang dikisahkan bayi itu sedang menangis menjerit-jerit di atas batu.
Tidak panjang lebar dikisahkan, tersebutlah seorang Kabayan dari Desa Panarajon sedang bermain-main di tepi danau. Bayi itu dijumpai sedang menangis di bawah pohon kayu mas, lalu diambilnya. Bayi itu berhenti menangis. Kabayan Panarajon memungut bayi tersebut dan dijadikan anak angkat. Entah berapa hari lamanya, bayi itu dipelihara oleh orang-orang Bali Aga, ia tumbuh dengan sehat. Alangkah besarnya kasih sayang sekalian orang-orang Panarajon kepada si bayi. Ketika dia sudah bisa membalas budi baik penduduk desa-desa di sekitarnya, lalu ia bergelar Pangeran Tambyak.
Demikianlah ceritanya bahwa ada seorang rakyat di Desa Panarajon Batur amat pandai dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan bertabiat mulia. Oleh karena baginda raja ingin mengetahui kehebatan Ki Tambyak, maka Ki Jro Kabayan Panarajon beserta anak angkatnya itu dipanggil agar menghadap ke istana. Demikian pula para menteri istana, antara lain Baginda Kebo Waruga yang memerintah di Blahbatuh, diikuti oleh prajurit pilihan. Baginda Arya Tunjung Tutur memerintah di Tenganan Pagringsingan juga diikuti oleh prajurit terpilihnya. Si Arya Kalungsingkal yang bertahta di Taro diikuti pula oleh para prajurit andalannya.
Demikian pula Ki Pasung Grigis yang menguasai Desa Tengkulak didampingi oleh seorang prajurit terkemuka yang dijuluki Pasar Tubuh Bedahulu, siap-siaga sama-sama memegang senjata, mereka nampak sama-sama tegar, siaga dengan bekal keahlian dan kesaktian, akan bertanding mengadu kekuatan dengan I Tambyak Tidak diceritakan lebih jauh, mereka sudah tiba di kerajaan Batanyar, menghadap Sri Haji Tapohulung. Selanjutnya, para prajurit itu disuruh membuat benteng pertahanan oleh baginda raja, di sebelah timur Desa Pejeng. Orang- orang Panarajon berada di utara. Orang-orang Tenganan, Blahbatuh, Tengkulak, Taro, ada yang berjaga di timur, di barat, dan di selatan. Lalu baginda raja muncul dikawal oleh Baginda Kebo Taruna, Kalungsingkal, Tunjung Tutur, dan Pasung Grigis. Itulah para menteri baginda raja Sri Haji Tapohulung. Dari kursi singasana emas, baginda raja memanggil seluruh prajuritnya untuk bersama-sama berperang melawan I Tambyak.
Majulah seorang prajurit Si Arya Pasung Grigis yang bernama I Kabayan Batu Sepih yang sudah siap siaga dengan senjatanya, yaitu keris Si Pedang Lembu, yang bersinar bagaikan pancaran sinar mercu. Orang-orang Bali selatan bersorak-sorai, silih berganti, oleh karena kemenangan baginda I Kabayan Batu Sepih, oleh karena beliau sudah termashur jaya dalam peperangan. Pada saat itu, orang-orang Panarajon nampak ketakutan. Si Kabayan Panarajon niscaya mampu menghadapi serangan musuh, karena itu Ki Tambyak disuruh bersiap siaga. Baginda raja menyuruh I Tambyak agar siap berlaga. Dia pun datang ke tengah medan laga, sama-sama menghunus keris. Suara kentongan bertalu-talu, tawa-tawa, kendang besar dan bunyi-bunyian mengalun, diiringi dengan suara gamelan, serta suara kendang dan gong beri yang berbarung gemuruh, suara gong itu menggema dibarengi sorak- sorai yang tiada putus-putusnya, sungguh bagaikan gelombang lautan.
Mereka berdua nampak siaga dan mulai mematukkan kerisnya, saling mengintai, saling tangkis, saling sodok, saling tendang, mereka sama-sama pandai memainkan pedang. Mereka bergulat saling tusuk, tubuhnya sama-sama melemas. Debu-debu pun tertidur karena diinjak-injak oleh orang yang sedang berlaga itu, sungguh-sungguh bagaikan peperangan Bima melawan Suyudana ketika mengadu kesaktian. Namun tiba-tiba dalam sekejap saja, Kabayan Batu Sepih terkena tusukan Ki Tambyak sehingga gugur terkapar di tanah. Karena Ki Pangeran Batu Sepih gugur maka seluruh prajuritnya berang. Abitah artinya dia tidak takut kepada orang banyak, pregitah artinya dia tidak takut menandingi musuh yang banyak, dan asayah artinya dia tidak takut mati di tangan musuh. Demikianlah dia tetap berlaga melawan musuh-musuhnya, bagaikan roda pemintalan, I Tambyak berputar-putar. Banyak prajurit yang gugur, tidak ada yang tidak patah lengannya, ada pula ususnya keluar, mayat bertumpuk-tumpuk bagaikan gunung di medan laga, oleh karena telah terbukti kehebatan I Tambyak. I Tambyak disuruh berhenti berperang dan dipersilakan duduk oleh baginda raja. Dengan disaksikan oleh seluruh rakyat dan para menteri. Dia pun diberi pakaian kebesaran seorang patih serta perlengkapan lain yang utama. Oleh karena itu, dia lalu bergelar Ki Patih Tambyak. Entah berapa lama sudah Ki Tambyak menjabat patih, keadaan negeri sangat tenteram di bawah pemerintahan baginda raja Sri Haji Bedhamurdi yang sudah termashur di seluruh negeri. Tidak diceritakan lebih lanjut kejayaan baginda raja dalam memerintah Bali.
Sekarang dikisahkan baginda Patih Tambyak menjadi teladan semua rakyat, dengan sentosa seluruh sanak keluarganya ikut serta menjaga negeri, turun-temurun menjadi patih. Diturunkan dari sifat ayahnya, maka segala bentuk upacara korban selalu dilaksanakan, adat-istiadat berlangsung sebagaimana tercantum dalam purana. Demikianlah keadaan negeri pada masa pemerintahan Patih Tambyak. Setelah berselang beberapa lama, Sri Haji Gajah Wahana dinobatkan menjadi raja Bali Aga. Namun tampak kejanggalan- kejanggalan pada masa pemerintahannya pertanda masa Kali sudah tiba. Sekarang dikisahkan kehancuran kerajaan Bedahulu yang disebabkan oleh serangan Majapahit di bawah pimpinan Patih Gajah Mada, yang membuat tipu muslihat dan menjalankan ajaran aji sukma kajanardanan.
Demikian misalnya terdengar berita kematian Kebo Taruna, tertangkapnya Pasung Grigis di daerah Tengkulak menyebabkan hancurnya kerajaan Bedahulu, juga karena kesaktian Arya Damar yang menguasai ilmu kadigjayan yang sempurna, Sri Haji Bedhamurdi terlebih dahulu meninggal, baginda Patih Kalungsingkal dibunuh oleh Arya Sentong.
Adapun Ki Patih Tambyak, beserta sanak keluarganya, ada yang mati, ada yang masih hidup, ada yang mengungsi terpencar ke sana-sini, ada yang menyusup ke desa-desa, ada yang ke sebelah utara gunung yaitu ke Desa Bungkulan, ada yang ke Jembrana, ada yang ke Tabanan, ada yang ke timur, ke selatan. Mereka tidak berani mengakui wangsanya. Di setiap desa yang disusupinya, mereka senantiasa mengaku keturunan Arya Bandesa. Adapun ketika masa kekalahan Bali Aga, di Bali tidak ada raja. Para dewa pun cemas menyaksikan kehancuran ini. Tersebutlah seorang pendeta suci yang bernama Dang Hyang Kepakisan. Beliau Adalah penasehat Patih Gajah Mada. Konon beliau lahir dari batu. Pada saat beliau memuja Dewa Surya (Surya Sewana), beliau bertemu dengan bidadari. Bidadari itu dinikahinya. Setelah beliau berputra, putra-putranya itu diminta oleh patih Gajah Mada sebagai raja. Yang paling tua dinobatkan di Blambangan, yang kedua bertahta di Pasuruhan, yang perempuan dinobatkan di Sumbawa, dan terkecil dinobatkan di Bali Aga, disertai oleh rakyat yang sakti dan kebal- kebal, serta bertabiat mulia.
Sungguh-sungguh bagaikan Kresna titisan Dewa Wisnu, nyata sekali baginda sudah mendalami Tri Radya. Setelah itu akan dikisahkan baginda Maharaja Kapakisan yang memerintah Bali yang kerajaannya diusahakan oleh patih Gajah Mada beserta pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris yang bernama Si Ganja Dungkul, lengkap tidak ada yang kurang, serta didampingi oleh beliau Arya Kanuruhan, Arya Wang Bang, Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Pangalasan, dan Arya Manguri. Di belakang Arya Wang Bang adalah Arya Kutawaringin dan tersebut pula Arya Gajah Para datang ke Bali dan menetap di Tianyar. Sedangkan Arya Kutawaringin bertempat tinggal di Toya Anyar. Hal itu disebabkan karena dahulu beliau itu ialah guru dari patih Gajah Mada yang kini menyertai perjalanan Arya Kapakisan ke Bali. Ada pula tiga orang Wesya yang berasal dari Majapahit yaitu Si Tan Kober, Tan Mundur dan Si Tan Kawur juga datang ke Bali.
Demikianlah cerita yang tersebut dalam lontar. Jika ada kata-kata yang menyimpang, mohon dimaafkan agar tidak terkena kutukan, dan semoga hamba menemukan keselamatan, tidak menemui rintangan-rintangan sampai pada sanak keluarga dan keturunan-keturunan hamba, selalu dicintai rakyat. Tidak akan dikisahkan lebih jauh mengenai pemerintahan Dalem beserta sanak keluarganya yang beristana di Harsapura (Klungkung). Sekarang akan diceritakan beliau Arya Wang Bang, seorang keturunan brahmana. Pada zaman dahulu ada seorang pengawal turun ke Bali mendampingi beliau Dalem Kresna Kapakisan. Beliau kemudian menguasai wilayah Tabanan. Beliau bernama Kyayi Ngurah Kenceng. Beliau beristrikan putri Pangeran Bendesa Tumbak Bayuh, dan mempunyai dua orang anak laki-laki. Yang tertua bernama Si Arya Rangong dan adiknya bernama Si Arya Ruju Bandesa.
Adapun beliau Arya Rangong amat in hati terhadap adiknya. Kematian adiknya seakan-akan dicari-cari. Namun dia tidak berhasil karena amat besar cinta kasih para dewa terhadap Arya Ruju Bandesa. Ada lagi tipu muslihat Si Arya Rangong yaitu ada pohon beringin yang sangat besar dan tinggi, tempat persemayaman Jro Gede dari Nusa Kambangan. Pohon beringin itu sangat angker, berada di Puri Buahan. Si Arya Ruju Bandesa disuruh memangkas pohon beringin itu oleh kakaknya. Dia tidak menolak dan segera memangkas pohon beringin itu. Semua orang terpesona menyaksikan Si Arya Ruju Bandesa memangkas pohon beringin karena sama sekali tidak tertimpa bencana. Setelah itu, beliau bergelar Arya Notor Waringin, ia amat dicintai rakyat, bakti terhadap dewa, tidak henti-hentinya memuja Tuhan, dalam menciptakan kesejahteraan negeri. Demikian seterusnya, sebuah candi pun telah didirikan oleh Arya Notor Waringin. Namun kakaknya Arya Rangong masih saja merasa iri hati kepadanya. Tiba-tiba dia minggat dari istana, berjalan menyusup ke tengah hutan, sambil memuji kebesaran Tuhan guna mendapatkan kekosongan. Tidak dikisahkan dalam perjalanannya, tiba-tiba dia telah sampai di pinggir sebuah danau dekat Desa Panarajon. Di sana dia bertemu dengan Pangeran Bandesa Tambyak. Mereka berdua saling memperkenalkan diri. Alangkah bahagianya Pangeran Bandesa Tambyak dapat bertemu dengan seseorang yang berbudi luhur.
Entah berapa lamanya Kyayi Notor Waringin berada di Desa Panarajon, bermain-main di tepi danau. Tiba-tiba Paduka Batara muncul di tengah danau. Mereka berdua segera menyembah, tidak berselang lama, akhirnya mereka berdua dipanggil untuk datang dan duduk di hadapan Paduka Batara. Mereka menyembah dengan hati yang suci bersih. Setelah selesai memuja, mereka disuruh naik ke puncak bukit. Mereka tidak menolak perintah Paduka Batara. Pada saat mereka berdua tiba di puncak bukit, mendampingi Paduka Batara, Kyayi Notor Waringin dianugerahi sebuah sumpit. Dia dipersilakan melihat daerah-daerah melalui lubang sumpit itu. Adapun daerah yang berhak dikuasainya, dari timur, barat, utara, dan selatan.
Daerah-daerah itu nampak terang. Tetapi di arah barat laut terlihat sebuah desa yang gelap. Menurut Batara, konon daerah itu akan dikuasai oleh Ki Ngurah Arya Notor Waringin. Demikian anugerah Batara kepadanya. Beliau Arya Notor Waringin kemudian menguasai daerah Badung, didampingi oleh teman dekatnya yang bernama Bandesa Tambyak. Setelah itu, Pangeran Bendesa Tambyak di anugerahi oleh temannya: "Wahai Bandesa Tambyak, betapa besarnya cinta kasihmu terhadap diriku, baik pada saat suka maupun duka, sejak dulu sampai sekarang. Saat ini engkau dan aku berada di daerah Badung atas restu Paduka sejak dulu sampai kelak, tidak dapat dipisahkan, kita sehidup semati, demikian sampai kelak seluruh sanak keluarga dan keturunan Bandesa Tambyak tidak dikenai hukuman. Tidak dijatuhi hukuman mati, jika engkau mendapat hukuman mati, hal itu dapat dibayar dengan uang. Jika engkau didenda dengan uang, itu dapat diampuni. Harta milikmu tidak dapat dirampas. Jika engkau bersalah, engkau akan diusir dan terampuni". Demikian anugerah raja Badung kepada Pangeran Tambyak. Entah berapa lamanya, Sri Anglurah Notor Waringin menjadi raja Badung, didampingi oleh abdi setianya yaitu Pangeran Tambyak, betapa sejahteranya negeri Badung. Tidak ada musuh yang berani menandingi baginda. Semakin hari semakin besar restu dan anugerah Batara kepada baginda. Beliau berhasil membunuh burung gagak siluman, sehingga dia diangkat sebagai menteri oleh Dalem, memimpin para menteri. Entah berapa lamanya Kyayi Notor Waringin memerintah negeri Badung, timbullah niat buruk Ki Bandesa Tambyak, dengan mengadakan huru-hara di istana. Karena itu dia disuruh menguasai desa-desa berikut penduduknya di daerah Bukit Pecatu. Ada pula yang diusir ke Sumerta, dan ada yang ke Desa Pahang. Semua keturunannya hidup tenteram. Tidak akan dikisahkan lebih jauh perihal Sri Anglurah Notor Waringin yang berkuasa di negeri Badung. Putra-putranya silih berganti, turun-temurun menjadi raja. Ada yang bertahta di Puri Tambangan, ada yang bertahta di Puri Denpasar, dan ada bertahta di Puri Kesiman.
Adapun Pangeran Bandesa Tambyak yang berada di Desa Pahang, kemudian mengungsi ke Desa Timbul Sukawati beserta istri, anak-anaknya dan Gusti Grenceng serta I Gusti Brasan. Entah berapa lamanya mereka berada di Sukawati, lalu mereka berpindah lagi, karena kekalahannya melawan Cokorda Karang. Gusti Brasan sudah lebih dulu kembali ke Badung bersama-sama Gusti Grenceng. Adapun Ki Bandesa Tambyak yang masih tertinggal di Sukawati menyamar menjadi Pangeran Pahang. Dia pun masih dikejar-kejar oleh I Dewa Nataran, karena itu ia lari untuk bersembunyi ke pinggir sungai Wos.
Setelah itu dia lari ke arah barat menuju Desa Mantring. Hujan dan angin ribut menyelimuti daerah di sekitar desa itu. Karenanya orang-orang yang mengejarnya kembali pulang. Di sana Pangeran Pahang menangis tersedu-sedu, katanya: "Oh Tuhanku, Dewa dari semua Dewa, beserta Paduka Batara Sang Hyang Siwa Raditya, dan leluhurku yang berada di Desa Panarajon, dan Paduka Batara Dalem di Desa Pahang, lindungilah hamba dari kematian dan kejaran musuh". Tiga empat kali, ia memuja Paduka Batara, Tiba-tiba dari pohon beringin itu muncul sinar, dan I Buta Panji Landung menampakkan diri, amat kasihan melihat Ki Bandesa Tambyak menangis di sisi tempat tidurnya: " Wahai Bandesa Tambyak, aku menganugerahimu, agar engkau menemukan keselamatan". Ki Tambyak menjawab: " Oh Tuhanku, siapa gerangan yang masih menaruh belas kasihan terhadapku?" "Wahai Tambyak, aku adalah Buta Panji Landung, Dewa dari semua Dewa di pohon beringin ini. Wahai Tambyak, semoga engkau menemukan keselamatan, panjang umur, sanak keluarga dan keturunanmu mendapatkan kesejahteraan, dicintai oleh masyarakat, oleh semua mahluk, tidak tertimpa mara bahaya". "Sujud hamba kehadapan Batara abdi Paduka Batara tidak akan meninggalkan desa ini, supaya ada yang menyembah Paduka Batara di sini, sanak keluarga dan keturunan hamba turun-temurun tidak akan lupa menyembah Paduka Batara" "Wahai Bandesa Tambyak, janganlah engkau lupa akan janjimu". Demikianlah anugerah Setelah itu beliau menggaib lagi. Karena itulah jalan itu dinamakan Rurung Panji. Tidak dikisahkan lagi keadaan Ki Tambyak, sekarang akan diceritakan Sri Agung Karang bertahta di daerah Tapesan. Negerinya amat Sejahtera, tidak jauh berbeda dengan kakaknya yang bertahta di Peliatan. Tidak diceritakan lagi Ida Dewa Agung Karang, kini akan diceritakan Ki Bandesa Tambyak yang menetap di Desa Celuk Mantring, sama-sama memiliki tempat tinggal. Setelah itu beliau memindahkan leluhurnya dari Desa Pahang, diwujudkan dalam bentuk Area Batara Siwa Raditya, dijadikan tempat persemayaman Batara Panji Landung yang berada di Madyasari. Demikian cerita Ki Bandesa Tambyak yang berada di Celuk Mantring. Sudah tersurat dalam lontar (prasasti).
Babad Manik Angkeran
PENDAHULUAN
Om AWIGHNAMASTU NAMOSIDDHAM,
Terlebih dahulu, kami haturkan pangaksama mohon maaf sebesar - besarnya ke hadapan Ida Hyang Parama Kawi - Tuhan Yang Maha Esa serta Batara - Batari junjungan dan leluhur semuanya. Agar supaya, tatkala menceriterakan keberadaan para leluhur yang telah pulang ke Nirwana, kami terlepas dari kutuk dan neraka.
Juga agar tidak terkena malapetaka dari Ida Sanghyang Saraswati. Semoga kami semuanya. serta keluarga dan keturunan kami mendapatkan keselamatan. kesejahteraan sampai kelak di kemudian hari di dunia ini.
Om Siddha rastu. Om Ksama sampurna ya namah swaha.
Sebagai pendahuluan ceritera, tersebutlah di kawasan Jawa, ada pendeta maha sakti bernama Danghyang Bajrasatwa. Ada putranya Iakilaki seorang bernama Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau memang pendeta Budha, memiliki kepandaian luar biasa serta bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa. Ida Danghyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan beliau semuanya.
Beliau yang sulung bernama Mpu Gnijaya. Beliau membuat pasraman di Gunung Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali pada tahun Isaka 971 atau tahun Masehi 1049. Beliaulah yang menurunkan Sang Sapta Resi - tujuh pendeta yang kemudian menurunkan keluarga besar Pasek di Bali. Adik beliau bernama Mpu Semeru, membangun pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun Masehi 999. Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian menurunkan keluarga Pasek Kayuselem. Yang nomor tiga bernama Mpu Ghana, membangun pasraman di Dasar Gelgel, Klungkung datang di Bali pada tahun Isaka 922 atau tahun Masehi 1000. Yang nomor empat, bernama Ida Empu Kuturan atau Mpu Rajakretha, datang di Bali tahun Isaka 923 atau tahun Masehi 1001, membangun pasraman di Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai, Karangasem. Nomor lima bernama Ida Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta kerajaan Prabu Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan, sekitar tahun Masehi 1000.
Beliau Mpu Kuturan demikian tersohornya di kawasan Bali, dikenal sebagai Pendeta pendamping Maharaja Sri Dharma Udayana Warmadewa, serta dikenal sebagai perancang pertemuan tiga sekte agama Hindu di Bali, yang disatukan di Samuan Tiga , Gianyar. Beliau pula yang merancang keberadaan desa pakraman - desa adat serta Kahyangan Tiga - tiga pura desa di Bali, yang sampai kini diwarisi masyarakat. Demikian banyaknya pura sebagai sthana Bhatara dibangun di Bali semasa beliau menjabat pendeta negara, termasuk Sad Kahyangan serta Kahyangan Jagat dan Dhang Kahyangan di kawasan Bali ini. Nama beliau tercantum di dalam berbagai prasasti dan lontar yang memuat tentang pura, upacara dan upakara atau sesajen serta Asta Kosala - kosali yang memuat tata cara membangun bangunan di Bali. Tercantum dalam lempengan prasasti seperti ini
"Ida sane ngawentenang pawarah - warah silakramaning bwana rwa nista madhya utama. lwirnya ngawangun kahyangan, mahayu palinggih Bhatara - Bhatari ring Bali lwirnya Puseh desa Walyagung Ulunswi Dalem sopana hana tata krama maring Bali, ayun sapara Bhatara lumingga maring Sad Kahyangan, neher sira umike sila krama" yang artinya: Beliau Mpu Kuturan yang mengadakan aturan tentang tatacara di dunia ini yang berhubungan dengan mikro dan makrokosmos dalam tingkat nista madya utama (sederhana, menengah dan utama), seperti membangun pura kahyangan, menyelenggarakan upacara sthana Bhatara-bhatari di Bali. Seperti Pura Puseh Desa, Baleagung, Ulunswi, Dalem, dan karena ada tata cara di Bali seperti itu berkenanlah para Bhatara bersthana di Sad Kahyangan, karena beliau yang mengadakan tata aturan tersebut.
Adiknya bernama Danghyang Mpu Bharadah mempunyai putra Iaki-laki dan keutamaan yoga beliau bernama Mpu Bahula. Bahula berarti utama. Kepandaian dan kesaktian beliau di dunia sama dengan ayahandanya Mpu Bharadah. Beliau memperistri putri dari Rangdeng Jirah - janda di Jirah atau Girah yang bernama Ni Dyah Ratna Manggali. Kisah ini terkenal dalam ceritera Calonarang. Beliau Empu Bahula berputra Iaki bernama Mpu Tantular, yang sangat pandai di dalam berbagai ilmu filsafat. Tidak ada menyamai dalam soal kependetaan, sama keutamaannya dengan Mpu Bahula, ayahandanya. Mpu Tantular adalah yang dikenal sebagai penyusun Kakawin Sutasoma di mana di dalamnya tercantum "Bhinneka Tunggal lka" yang menjadi semboyan negara Indonesia. Beliau juga bergelar Danghyang Angsokanata. Keberadaan beliau di Bali diperkirakan sejaman dengan pemerintahan raja Bali, Sri Haji Wungsu pada tahun Masehi 1049.
Ida Mpu Tantular atau Danghyang Angsokanata, berputra empat orang semuanya Iaki-laki. Yang sulung bernama Mpu Danghyang Panawasikan. Yang nomor dua bergelar Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra. Yang nomor tiga bernama Mpu Danghyang Smaranatha. Yang terkecil bernama Mpu Danghyang Soma Kapakisan.
Ida Danghyang Panawasikan, bagaikan Sanghyang Jagatpathi wibawa beliau, Ida Danghyang Siddhimantra bagaikan Dewa Brahma wibawa serta kesaktian beliau. Ida Danghyang Asmaranatha bagaikan Dewa Manobawa yang menjelma, terkenal kebijaksanaan dan kesaktian beliau, serta Danghyang Soma Kapakisan, yang menjadi guru dari Mahapatih Gajahmada di Majapahit, bagaikan Dewa Wisnu menjelma, pendeta yang pandai dan bijaksana. Ida Danghyang Panawasikan memiliki putri seorang, demikian cantiknya, diperistri oleh Danghyang Nirartha.
Ida Danghyang Smaranatha, memiliki dua orang putra, yang sulung bernama Danghyang Angsoka, berdiam di Jawa melaksanakan paham Budha. Adik beliau bernama Danghyang Nirartha, atau Danghyang Dwijendra, Peranda Sakti Wawu Rawuh dan dikenal juga dengan sebutan Tuan Semeru. Beliau melaksanakan paham Siwa, serta menurunkan keluarga besar Brahmana Siwa di Bali yakni, Ida Kemenuh, Ida Manuaba, Ida Keniten, Ida Mas serta Ida Patapan. Danghyang Angsoka sendiri berputra Danghyang Astapaka, yang membangun pasraman di Taman Sari, yang kemudian menurunkan Brahmana Budha di Pulau Bali.
Ida Danghyang Soma Kapakisan yang berdiam di kawasan kerajaan Majapahit. berputra Ida Kresna Wang Bang Kapakisan, ketika Sri Maharaja Kala Gemet memegang kekuasaan di Majapahit. Ida Kresna Wang Bang Kapakisan mempunyai putra empat orang, semuanya diberi kekuasaan oleh Raja Majapahit, yakni beliau yang sulung menjadi raja di Blambangan, adiknya di Pasuruhan, yang wanita di Sumbawa. dan yang paling bungsu di kawasan Bali. Yang menjadi raja di Bali bernama Dalem Ketut Kresna Kapakisan menurunkan para raja yang bergelar Dalem keturunan Kresna Kepakisan di Bali. Dalem Ketut Kresna Kepakisan datang di Bali, menjadi raja dikawal oleh Arya Kanuruhan, Arya Wangbang - Arya Demung, Arya Kepakisan, Arya Temenggung, Arya Kenceng. Arya Dalancang, Arya Belog, Arya Manguri, Arya Pangalasan, dan Arya Kutawaringin, Arya Gajah Para serta Arya Getas dan tiga wesya: Si Tan Kober, Si Tan Kawur, Si Tan Mundur. Ida Dalem beristana di Samprangan, didampingi oleh l Gusti Nyuh Aya di Nyuh Aya sebagai mahapatih Dalem. Tatkala itu Ida Dalem memerintahkan para menterinya untuk mengambil tempat masing-masing. Ida Arya Demung Wang Bang asal Kediri di Kertalangu, Arya Kanuruhan di Tangkas, Arya Temenggung di Patemon, Arya Kenceng di Tabanan, Arya Dalancang di Kapal,
Arya Belog di Kaba-Kaba, Arya Kutawaringin di Klungkung, Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas di Toya Anyar, Arya Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Kriyan Punta di Mambal, Arya Jerudeh di Tamukti , Arya Sura Wang Bang asal Lasem di Sukahet, Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana. Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di Bondalem, Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan Demikian dikatakan di Babad Dalem.
IDA DANGHYANG SIDDHIMANTRA BERPUTRA IDA BANG MANIK ANGKERAN
Diceriterakan kembali putra Ida Danghyang Angsokanata atau Danghyang Mpu Tantular yang nomor dua yakni Ida Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra Beliau bernama Mpu Bekung karena beliau tidak bisa mempunyai putra. Kemudian beliau bergelar Danghyang Siddhimantra disebabkan memang beliau pendeta atau Bhujangga yang sakti serta bijaksana. Beliau menjadi sesuhunan sakti Bhujangga luwih (Junjungan sakti, pendeta yang bijaksana) di kawasan Bali ini tatkala itu. Perihal gelar Ida Mpu Bekung menjadi Danghyang Siddhimantra, akan diceriterakan di bawah ini
Diceriterakan, Ida Mpu Bekung berkeinginan untuk memiliki putra yang akan menjadi penerusnya kelak. Karena itu beliau melaksanakan upacara homa, memuja Sanghyang Brahmakunda Wijaya.
Karena kesaktian beliau, dan karena permohonannya itu, beliau dianugerahi manik besar yang keluar dari api homa tersebut. Kemudian nampak keluar bayi dari tengah-tengah api pahoman itu. Anak itu kemudian diberi nama Ida Bang Manik Angkeran. Artinya: Bang dari merah warna api itu. Manik dari manik mutu manikam yang menjadi anugerah, dan Angkeran dari keangkeran pemujaan sang pendeta yang demikian makbulnya. Demikian asal mulanya Ida Mpu Bekung memiliki putera.
Setelah beliau memiliki putera, sangat sukacita beliau Mpu Bekung, diperhatikan dan dimanjakan betul putera beliau. Setiap yang diinginkan putranya dipenuhi.
Setelah Ida Bang Manik Angkeran menginjak remaja, mungkin diakibatkan oleh kehendak Yang Maha Kuasa, agar supaya Ida Mpu Bekung menemui ganjalan pikiran atau kesusahan, ternyata kemudian putra beliau sehari-hari pekerjaannya hanya berjudi melulu, tidak pernah tinggal diam di rumah, selalu berada di tempat perjudian semata. Di mana saja ada perjudian, di sana Ida Bang Manik Angkeran bermalam. Diceriterakan perjalanan beliau berjudi tidak pernah menang. Selalu kalah saja.
Hingga habis milik ayahnya dipergunakan untuk berjudi. Yang membuat Mpu Bekung duka cita tiada lain karena putranya tidak pernah pulang ke Griya. itu menyebabkan resah gelisah perasaan beliau, seraya pergi mencari putra beliau Ida Bang Manik Angkeran ke desa-desa. Setiap ada orang yang dijumpai di tengah jalan, ditanyai oleh beliau apakah ada menemui putra beliau yang bernama Ida Bang Manik Angkeran. Namun semuanya mengatakan tidak pernah mengetahui dan menemuinya.
Diceriterakan, konon, sudah lama beliau mengembara mencari putra beliau itu tidak juga dijumpai, sampai akhirnya tiba di kawasan Tohlangkir pengembaraan beliau Setibanya di Tohlangkir - Gunung Agung, di sana beliau baru merasa lesu lelah kemudian duduk seraya bersamadi menyatukan pikiran beliau, memuja Dewa seraya membunyikan genta beliau yang bernama Ki Brahmara .
Karena keutamaan puja mantra beliau diiringi dengan suara genta beliau Ki Brahmara yang demikian menakjubkan, menjadi heboh keluar Ida Sanghyang Basukih, seraya berkata: "Ah Mpu Bekung yang datang, apa keinginan Mpu, memuja saya ? Segera katakan. agar saya menjadi tahu !".
Berkatalah Ida Mpu Bekung: "Singgih paduka Sanghyang, hamba memiliki anak seorang tidak pernah sama sekali pulang, sejak lama hamba mencarinya, namun belum juga ketemu. Maksud hamba agar dengan senang hati pukulun Sanghyang memberitahu keadaan sebenarnya, apakah dia masih hidup, atau apakah dia sudah .mati. Kalau misalnya dia masih hidup agar supaya pukulun Sanghyang sudi memberi tahu, di mana dia berada".
Dengan sukacita Ida Bhatara Basukih berkata: "Ah Mpu, hendaknya Mpu jangan bersedih hati, sebenarnya putra Mpu masih hidup berada di desa-desa, bermalam di sana. Sekarang saya yang akan mengarad (menarik) Jiwa - putra Mpu, agar segera pulang kembali. Namun, Mpu saya minta sarinya susu lembu, sebagai imbalan saya mengarad putra sang Mpu". Demikian wacana Ida Bhatara Nagaraja, seraya meminta Ida Mpu Bekung agar pulang ke rumahnya .
Singkat ceritera. pulanglah Ida Mpu memohon diri dari Tohlangkir. Tidak diceriterakan perjalanan beliau, maka sampailah beliau kembali di rumahnya di Griya Daha, dan dilihatnya sang putera telah berada di rumah. ltu sebabnya sangat sukacita beliau Mpu Bekung, seraya berkata: "Duh, putraku Sang Bang, dengarkanlah apa yang ayah katakan sekarang. Jangan lagi ananda mengulangi perbuatan yang sudah - sudah. Ayah tidak sama sekali melarang ananda untuk bermain judi, namun agar ananda ingat juga dengan rumah Ananda. Payah Ayah mencari ananda keluar masuk desa-desa".
Kemudian berkatalah putranya: "Singgih palungguh Mpu, ayahandaku, janganlah sekali-kali palungguh Mpu marah serta duka ananda sudah menginjak dewasa sejak dahulu, ananda tidak pernah sama sekali berani ingkar, karena ananda ingin sekali dengan keberadaan diri sebagai seorang putra Brahmana". Demikian kata putranya Sang Bang Manik Angkeran,
Setelah usai Ida Mpu Bekung memberikan nasihat kepada putranya, ingat beliau kepada permintaan Ida Bhatara Naga Basukih yang menginginkan susu lembu
Pada hari yang baik. lengkap dengan gentanya, beliau melakukan perjalanan menuju Tohlangkir. Sesampainya di Tohlangkir, kemudian beliau mempersiapkan diri dan melakukan yoga semadi memuja Ida Sanghyang Nagaraja seraya membunyikan genta beliau. Karena kemakbulan weda mantra beliau memuja Ida Sanghyang Naga raja, segera Ida Bhatara keluar seraya bersabda: "Ah, Mpu Bekung yang datang
Apa keinginan sang Mpu datang lagi?".
Kemudian berkatalah Ida Mpu Bekung: "Singgih pukulun Sanghyang, hamba menghadap pada paduka Bhatara, bermaksud menghaturkan sarinya susu, sesuai dengan keinginan Sanghyang. Anak hamba sudah ketemu, ada di rumah". Tatkala didengarnya kata-kata Mpu Bekung seperti itu, sangat sukacita perasaan Ida Bhatara Basukih seraya berganti rupa menjadi Nagaraja Agung, kemudian meminum sarinya susu, sampai beliau kenyang.
Setelah beliau kenyang meminum susu lembu itu, seraya berbalik, beliau mengeluarkan emas, saat itu diminta Ida Mpu Bekung agar mengambil emas itu.
Singkat ceritera, setelah beliau mengambil emas itu yang kemudian dibungkus sebesar kelapa besarnya, lalu beliau memohon diri kepada Ida Sanghyang Basukih Tidak diceriterakan perjalanan Ida Mpu Bekung, akhirnya tiba jugalah beliau di Griya Daha seraya membawa emas. Diketahui emas itu oleh putranya. Ida Bang Manik Angkeran yang gencar bertanya, meminta kepada ayahandanya agar diberi tahu di mana memperoleh emas itu
Ida Mpu Bekung sangat merahasiakan perihal kepergian beliau mendapat emas itu. Putra beliau tetap saja gencar mencari tahu. Lalu Ida Mpu berkata kepada putranya. "Aduh ananda, jangan hendaknya ananda gencar bertanya seperti itu akan perihal ayah mendapat emas ini. Kalau ada keinginan ananda untuk mengambil, Ayahanda berikan". Walaupun demikian kasih sayang beliau kepada putranya, tetap saja Sang Bang memohon kepada ayahandanya untuk diberi tahu di mana memperoleh emas itu Karena tidak sampai hati dan rasa kasih sayang yang amat sangat, lalu Ida Mpu memberitahukan perihal beliau mendapatkan harta itu.
Karena sekarang sudah memiliki emas, maka pergilah Ida Bang Manik Angkeran bermain judi. Mungkin memang sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, sehari-harinya beliau selalu kalah berjudi. Akhirnya tidak sampai satu bulan habislah sudah emas yang diberikan ayahandanya dijual, dipakai modal di tempat perjudian.
Karena keadaannya demikian, lalu beliau berpikir keras, dan kemudian Ingat beliau pada perjalanan ayahandanya mendapatkan emas itu, yang merupakan anugerah dari Bhatara di Tohlangkir. Segera beliau pulang, tetapi secara sembunyi - sembunyi agar tidak diketahui ayahandanya, beliau bertolak menuju Tohlangkir seraya membawa susu lembu, serta genta milik ayahandanya, Ki Brahmara.
Tidak diceriterakan perjalanannya, sampailah beliau di Tohlangkir, di depan gua. Lalu beliau duduk mengheningkan cipta, memuja Dewa, seraya membunyikan genta.
Rupanya pemujaan beliau yang khusuk, serta diiringi dengan bunyi genta yang Utama itu, membuat geger, keluar Bhatara Naga Basukih dari gua itu seraya berkata "Ah siapa anda ini datang, segera katakan !".
Segera Ida Bang Manik Angkeran menyembah: "Singgih paduka Sanghyang, hamba bernama Sang Bang Manik Angkeran. Hamba mengikuti jalan Ayahanda hamba, menghaturkan sarinya susu lembu ke hadapan paduka Sanghyang. "Demikian hatur beliau. Karena demikian, sangat sukacitalah perasaan Ida Bhatara Basukih. Lalu diminumlah susu itu, setelah berganti rupa menjadi ular naga besar berwibawa, seraya meminum susu itu. Seusai meminum susu itu, bersabdalah beliau kepada Ida Bang Manik Angkeran: "lh, Sang Bang, sekarang apa yang kamu inginkan, apapun yang ananda minta akan kuberikan ."
Berkatalah Ida Bang Manik Angkeran: "Singgih paduka Bhatara, hamba bermaksud untuk memohon modal, nista sekali hamba berjudi, selalu kalah setiap hari ".
Saat itu Ida Bhatara Basukih mengambil emas, bagaikan sebutir kelapa besarnya. diberikan kepada Ida Bang Manik Angkeran, seraya bersabda: "Ambillah emas ini, segera ananda pulang, poma, poma". Lalu diambil emas itu, disertai sembah bakti sekaligus memohon pamit ke hadapan Ida Bhatara Nagaraja.
Singkat ceritera. tibalah Ida Bang Manik Angkeran kembali di rumah di Griya Daha, menyimpan genta saja, lalu beliau pergi lagi untuk bermain judi. Atas kehendak Hyang Widhi, tidak sampai satu bulan, habis juga modalnya, itu sebabnya kembali beliau mengelana, berhutang di perjudian tidak dapat, meminjam tidak diberi. Karena itu, lalu beliau mengambil lagi genta milik ayahandanya, seraya mencari sarinya Susu lembu, dan menyengkelit pedang yang bernama Ki Gepang, lalu segera menuju Tohlangkir.
Setibanya beliau di Tohlangkir, lalu beliau duduk seperti yang dilakukan sebelumnya, mengheningkan cipta, memuja Dewa, serta membunyikan gentanya. Karena genta itu betul-betul genta utama, gegerlah Ida Sanghyang Basukih ke luar guanya seraya bersabda: "Ah Sang Bang Manik Angkeran kiranya yang datang. Datang lagi ananda membawa susu. Apa lagi permintaanmu, katakan, semaumu akan kuberikan".
Karena kewibawaan Ida Bhatara Basukih demikian mempesona dan menggetarkan perasaan, menjadi tak enak perasaan Ida Sang Bang, lalu mengatakan tidak memohon apa-apa. Karena demikian kata Ida Sang Bang, lalu Ida Bhatara berganti rupa kembali menjadi ular naga yang besar, seraya meminum susu lembu tersebut Setelah menyantap susu lembu itu, Ida Bhatara kembali ke gua . Karena beliau berbadan panjang, ketika bagian kepala beliau sudah tiba di tempat peraduan, maka bagian ekor beliau masih berada di luar gua. Dilihat oleh Ida Bang Manik Angkeran ekor Ida Bhatara menyala karena di tempat itu terdapat intan besar bagai ratna mutu manikam beralaskan emas dan mirah yang menyala gemerlapan.
Ketika itulah muncul rasa angkara loba Ida Bang Manik Angkeran, disusupi oleh niat tamak untuk memiliki permata itu. Lalu beliau menghunus pedang Ki Gepang yang dibawanya segera memenggal ekor Ida Sanghyang Nagaraja, sehingga terputus mata intan yang ada di bagian ekor yang segera diambil dan dilarikan oleh Ida Manik Angkeran.
Karena demikian tingkah Sang Bang Manik Angkeran, tak terkira murka Ida Bhatara Nagaraja, sebab merasa ekor beliau terluka, lalu beliau kembali bergerak ke luar gua. Dilihat oleh beliau busana beliau dilarikan oleh Ida Bang Manik Angkeran
Segera beliau menyemburkan api, yang mengikuti arah perjalanan Ida Bang Manik Angkeran yang kemudian terbakar habis menjadi abu. Tempat itu belakangan bernama Cemara Geseng dan menjadi lokasi Pura Manik Mas Besakih. Sementara itu permata milik Ida Bang Manik Angkeran ditempatkan sebagai pusaka junjungan di Pura Dalem Lagaan, Bebalang, Bangli.
Diceriterakan Ida Mpu Bekung gundah perasaan beliau, karena putranya tidak pernah pulang ke rumah. Desa-desa diselusuri mencari putranya, namun tiada juga ditemukan. Segera beliau mengheningkan cipta. Karena kesaktian beliau, terlihat oleh beliau putranya sudah menjadi abu. Segera beliau pergi menuju Bali, Besakih yang ditujunya, berkehendak mengikuti perjalanan putranya. Tidak diceriterakan di jalan tibalah beliau di Besakih. Di sana beliau melihat onggokan abu, sementara buah genta berada di sebelah abu itu. Segera diketahui dengan jelas, bahwa genta itu adalah milik beliau yang bernama Ki Brahmara. Jelas sudah abu itu merupakan jasad putranya. Di sana beliau kemudian menumpahkan rasa duka-citanya, seraya berpikir-pikir, jelas meninggalnya Ida Bang Manik Angkeran disebabkan perbuatannya yang tak terpuji, disembur api oleh Ida Sanghyang Nagaraja. Kemudian diambilnya genta Ki Brahmara yang sakti itu.
Karena sudah jelas diketahui, maka beliau kemudian melanjutkan perjalanan berkehendak untuk menghadap Ida Sanghyang Basukih. Setibanya di depan gua, seperti sebelumnya, beliau kemudian duduk melakukan pemujaan utama memohon ke hadapan Ida Sanghyang Basukih.
Lama sudah beliau melakukan pemujaan. Lama beliau menunggu, tidak juga keluar Ida Sanghyang Basukih, disebabkan demikian besar amarahnya, ingat diperdaya oleh suara genta.
ltu sebabnya beliau Mpu Bekung melanjutkan lagi pujastutinya dengan mengujarkan Asta Puja, Basukih Stawa dan Utpeti, Stiti Mantra diiringi dengan suara genta beliau. Karenanya, barulah Ida Bhatara keluar dan dilihatnya Ida Mpu ada di sana yang kemudian merangkul, seraya menghaturkan sembah panganjali agar Ida Bhatara memberikan anugrah dan berkata: "Om paduka Bhatara, ampunilah anak hamba. Tahu betul hamba akan perbuatan anakku yang demikian tak berbudi dan tak terpuji. Bila mana berkenan, sudilah Bhatara menceriterakan perbuatan anak hamba itu . Lama Ida Bhatara berdiam diri. Mukanya cemberut, menunjukkan kekesalan perasaannya yang tak terhingga. Namun, karena Ida Sang Mpu sudah memohon maaf dengan tulus dan suci, maka Ida Bhatara berkata perlahan. Menceriterakan segala perbuatan yang dilakukan Ida Sang Bang Manik Angkeran yang mengatakan diutus oleh Sang Mpu untuk menghaturkan susu lembu, sampai akhirnya dihanguskan menjadi abu oleh beliau.
Mana kala Ida Mpu mendengar ceritera Ida Bhatara, meleleh air mata Ida Sang Mpu Bekung, dan sesudah Ida Bhatara selesai bersabda, beliau kemudian kembali menghaturkan sembah seraya berkata: "Singgih pukulun paduka Bhatara, demikian memang dosa anakku itu, namun rupanya dia sudah menjalani kematian, habis sudah dosanya. Inggih, hamba sekarang memohon anugerah pukulun Bhatara, sudilah kiranya paduka Bhatara menghidupkan kembali Manik Angkeran, karena dialah anak hamba satu-satunya, sebagai pewaris keturunan yang akan melanjutkan keberadaan hamba kelak. Bila mana dia nanti hidup kembali, hamba akan menyerahkan dirinya kepada paduka Bhatara, agar menghamba di sini sampai kelak kemudian hari".
Mendengar hatur Ida Sang Mpu Bekung sedemikian itu, merasa sedikit malu Ida Bhatara seraya bersabda: "Ah, Sang Mpu, bila demikian permintaanmu, aku dengan suka rela menghidupkan anakmu, namun agar sudi kiranya Sang Mpu menyambung kembali ekorku".
Lalu menyembah Mpu Bekung: "Singgih paduka Sanghyang, bila demikian keinginan paduka hamba bersedia untuk menyambung kembali ekor paduka Bhatara: Namun, sebelumnya, maafkanlah hamba berani berhatur sembah bila mana paduka Bhatara berkenan, permata intan yang sebelumnya berada di ekor paduka, sebaiknya ditempatkan saja di bagian mahkota paduka Bhatara, karena akan nampak sangat maha utama, dan pula mereka yang jahat tidak akan tergoda untuk ingin memilikinya Dan juga bila mana masih di bagian ekor, di samping terlihat nista, juga membuat paduka Bhatara tidak bisa terbang karena keberatan di bagian ekor".
Demikian sukacita perasaan Ida Sanghyang Nagaraja tatkala mendengar hatur Ida Mpu Bekung. Setelah usai bertemu wirasa, lalu Sang Mpu melaksanakan yoga samadhi menghaturkan puja mantra, menyatukan batin beliau memuja Ida Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewanya sangging dan undagi (pekerja khusus bangunan tradisional) di Surga.
Seusai sempurna pujastuti serta permohonan beliau, segera beliau membuat gelung mahkota, dengan hiasan candi kurung, garuda mungkur, dengan anting anting, bergundala dan memakai sekar taji. Demikian indahnya memang kalau dilihat
Singkat ceritera, selesai sudah gelung agung itu, kemudian dipakai oleh Ida Bhatara. Memang, demikian menakjubkan. Nampak semakin mempesona prabawa Ida Bhatara, dan juga beliau sekarang bisa terbang. Demikian sukacita hati Ida Bhatara Nagaraja
Karena itu, segera pula Ida Bhatara menghidupkan jasad Sang Bang Manik Angkeran, didahului dengan pujastuti weda mantra. Perlahan, Ida Sang Bang Manik Angkeran bangun, seperti baru habis tidur layaknya, hidup seperti semula, dan ketika sadar, beliau cepat lari. Tempat itu kemudian bernama Pura Bangun Sakti.
Segera Ida Sang Bang diikuti oleh ayahandanya, kemudian dipegang dan diajak untuk menghadap Ida Bhatara Hyang Basukih. Sesuai perjanjian, maka Ida Sang Bang Manik Angkeran dihaturkan kepada Ida Bhatara untuk mengabdi di Basukih sampai kelak di kemudian hari.
Demikian suka citanya beliau berdua, karena semuanya sudah berhasil, disebabkan kesaktian beliau masing-masing. Ida Sang Nagaraja sudah menghidupkan kembali Ida Sang Bang Manik Angkeran. Juga Ida Mpu Bekung demikian saktinya bisa menyambung kembali ekor Ida Bhatara Nagaraja. Ida Mpu Bekung kemudian menghaturkan sembah terimakasih kepada Ida Sanghyang Basukih. Ida Sanghyang Basukih kemudian bersabda: "Duh, Mpu Bekung, memang demikian saktinya anda ini. Pantas anda bergelar Siddhimantra. demikian sakti dan makbulnya japa - mantra anda. Sejak sekarang, tidak lagi Mpu Bekung nama anda, namun Danghyang Siddhimantra nama anda sang pandita. Silakan, pulanglah sahabat karibku, semoga Dirgahayu, panjang usia anda !" lalu Ida Sanghyang Nagaraja terbang menuju Surga Loka. Sejak saat itu Ida Mpu Bekung bergelar Danghyang Siddhimantra.
Sebelum Ida Danghyang Siddhimantra kembali ke Griya Daha, tidak lupa beliau memberikan petuah kepada putranya Ida Sang Bang Manik Angkeran: " Uduh mas juwita permata hati ayah, engkau anakku Manik Angkeran. Ananda akan ayah tinggal sekarang ini. Sebab Ayahanda akan kembali ke Jawa. l Dewa akan ayahanda haturkan kepada Ida Sanghyang Basukih, sesuai dengan janji ayah kepada Ida Bhatara. Mungkin ananda belum jelas tahu perihal keberadaan ananda sendiri yang sebelumnya dihanguskan oleh Ida Bhatara sampai habis menjadi abu, disebabkan karena marah beliau tak terhingga, perilaku ananda sungguh tak terpuji, memenggal ekor Ida Bhatara. Lalu ayahandamu ini memohon kepada Ida Bhatara, agar beliau dengan senang hati menghidupkan kembali ananda, dengan janji, kalau ananda bisa hidup kembali, ananda akan ayah haturkan kepada Ida Bhatara untuk mengabdi di sini di Besakih. Selain itu, kalau ananda kembali ke Jawa, jelas perilaku ananda akan kembali seperti yang sudah-sudah, sebab lingkungan ananda di sana sudah demikian rupa. Diamlah dan tinggal ananda di sini, ayahanda akan kembali ke Jawa. Jangan ananda salah terima dan salah paham, sebab sebenarnya, perihal perasaan ayahanda dan kasih sayang ayahanda kepada ananda, tidak pernah kurang sejak dahulu sampai kapanpun. Ada petuah ayahanda ini yang sangat Penting, agar diteruskan dharma bakti ananda ke hadapan Ida Bhatara di sini di Tohlangkir, Besakih. Jangan sampai menurun, sebab kalau demikian, menjadi ingkar ayahanda dengan janji ayahanda, sangat nista disebut orang. Kemudian ada lagi nasehat ayahanda, sebab ananda sudah pernah pralina atau wafat menjadi abu kemudian disucikan menjadi hidup kembali, hidup untuk keduakalinya, berdwijati namanya, sekarang ananda berwenang menjadi pendeta, agar ananda senantiasa menyelenggarakan, mengatur dan memimpin penyelenggaraan segenap upakara dan upacara di sini di Besakih. Juga agar ananda mengatur semua masyarakat umat di seluruh Bali, agar semakin meningkat bhakti dan sradha imannya, kepada Ida Bhatara serta kepada sthana Ida Bhatara semuanya".
Ida Sang Bang Manik Angkeran mengiakan semua yang disampaikan oleh ayahandanya. Di samping petuah tersebut, Ida Sang Bang juga diberikan pengetahuan suci yang memberikan wewenang Ida Sang Bang untuk mengucapkan weda mantra, menyelesaikan upacara, di samping diberikan pengetahuan kerohanian daya kebathinan yang tinggi.
Seusai Ida Sang Bang Manik Angkeran mendapat pengetahuan suci dan kerohanian, beliau ditinggalkan oleh ayahandanya yang kemudian melakukan perjalanan pulang kembali ke Jawa.
Tidak diceriterakan perjalanan beliau, tibalah beliau di tanah genting - tempat perbatasan antara Jawa dan Bali. Di sana beliau termenung -menung. teringat beliau akan kelakuan putranya yang tak senonoh. ltu sebabnya timbul kekhawatiran dalam perasaan beliau. seandainya Ida Sang Bang Manik Angkeran kembali lagi ke Jawa, sehingga beliau berkeinginan mengupayakan bagai mana caranya agar putranya tidak bisa lagi kembali, sebab janji beliau sudah demikian pasti. ltu sebabnya kawasan itu akan diubah agar menjadi laut. Di sana kemudian beliau menggelar yoga semadinya. Menyatukan batinnya, memuja Bhatara di pegunungan agar berkenan dan tidak beliau menjadi kualat. Sudah bersatu pikiran beliau dan juga sudah mendapatkan ijin anugrah, lalu tanah genting itu digores dengan tongkat beliau. Bergetar dengan dahsyat kawasan Bali dan Jawa, lindu dan gempa terjadi, kilat dan halilintar bertubi - tubi ! Terpisah dan putuslah kawasan Bali dengan Jawa ! Laut memisahkan keduanya. Lalu laut itu dinamakan dengan Segara Rupek. Tidak terhingga sukacita Dang Hyang Siddhimantra. karena yakin putranya tidak akan bisa kembali lagi ke Jawa. Lalu beliau kembali pulang ke Griya Daha di Jawa.
IDA BANG MANIK ANGKERAN BERJUMPA DUKUH SAKTI BELATUNG
Kembali diceriterakan keberadaan Ida Bang Manik Angkeran di Besakih. Beliau membuat pasraman di sebelah Utara gua, sekitar 300 depa jaraknya dari Gua itu. pekerjaan beliau sehari-hari melaksanakan tapa brata yoga samadhi, serta menjaga kebersihan dan kesucian kawasan Pura Besakih. Tak sekalipun beliau lalai. Perilaku beliau berbeda benar jika dibandingkan dengan sebelum beliau wafat dibakar oleh Ida Bhatara Nagaraja. Beliau melaksanakan Kadharmaan, mengikuti ajaran dan perilaku seorang pendeta pura yang suci. Setiap hari beliau menggelar Surya Sewana, memuja Sanghyang Parama Wisesa.
Suatu ketika tatkala hari sukla paksa pananggalan menjelang purnama, beliau bermaksud untuk membersihkan diri dengan mandi di Toya Sah, Besakih. Setelah membersihkan diri, berkeinginan beliau berjalan-jalan meninjau kawasan Besakih. Lalu terlihat oleh beliau seorang Iaki-laki tua sedang bekerja di ladang, membersihkan padi gaga, membersihkan rumput dan menyiangi. Orang tua itu bernama Ki Dukuh Belatung yang demikian saktinya, namun tindak-tanduknya bagaikan anak kecil senang dipuji serta senang pamer. Baru dilihat seseorang datang ke tempat beliau dan menyaksikan beliau bekerja, keluarlah keisengannya untuk pamer, sengaja berhenti bekerja kemudian menaruh alat siangnya dan melompat duduk di atas alat itu seraya mengambil sirih dan melumatkan sirih itu di atas alat siang tadi.
Pikir Ki Dukuh ingin supaya yang baru datang menjadi kagum. Namun Sang Bang Manik Angkeran malahan menjadi sangat jengkel melihat aksi pamer Ki Dukuh, karena jelas maksudnya untuk mencoba diri beliau. Lalu, dihampirinya Ki Dukuh seraya berkata: "lh Bapak, kalau begini cara Bapak bekerja, sepertinya bermain-main, sebanyak apa yang bisa Bapak hasilkan?".
Lalu berkata Ki Dukuh sedikit gugup: "Siapa pula anda yang bertanya ? Kok rasanya Bapak tidak jelas tahu?".
Berkata Ida Bang Manik Angkeran: "Ah saya ini Sang Bang Manik Angkeran, putra beliau Mpu Bekung dari tanah Jawa. Namun saya ini sekarang menghamba kepada Ida Bhatara di Besakih, menjadi tukang sapu".
Berkata lagi Ki Dukuh: "Tidak mengerti saya, kalau demikian halnya. Sebab janggal keberadaan sang brahmana seperti itu. Baru sekarang saya mendengar orang bekung (tak punya anak) memiliki putera. Dan lagi ada brahmana menjadi tukang sapu, kalau tidak anda ini brahmana hina".
Sedikit marah Sang Bang berkata: "lh Bapak, jangan berbicara sembarangan! Ayah saya memang bekung, namun karena kesaktian beliau, berhasil beliau mengadakan putera. Saya ini memang benar putra seorang Mpu, bukan brahmana hina.
Serta saya berhak diperintah oleh Ida Bhatara, walaupun pekerjaan yang diperintahkan itu menyapu, itu juga pekerjaan utama, kalau sudah Ida Bhatara yang memerintahkan. Sekarang saya balik bertanya. Kakek ini siapa, serta dari golongan apa ?"
Ki Dukuh kemudian berkata: "Saya ini bernama Ki Dukuh Belatung, sebagai penua di desa Bukcabe, namun saya membuat tempat tinggal di sini".
Berkata lagi Sang Bang, masih perasaannya jengkel: "lh Bapak Dukuh, saya bertanya lagi Itu ada sampah bertimbun akan Bapak bagaimanakan ? Tidak akan Bapak bersihkan ? "
"Akan saya bersihkan !".
"Bagaimana cara Bapak membersihkan ?"
"Akan saya bakar !"
"Apa yang akan Bapak pakai membakar ?"
"Wah, ini benar-benar brahmana aneh". Ki Dukuh menjawab agak marah, apa lagi dipakai membakar, kalau bukan api. Lalu kalau Ida Bagus apa yang dipakai membakar ?".
"Wah" demikian Sang Bang menjawab seperti mencibir, "kalau Bapak Dukuh masih membakar sampah dengan memakai prakpak daun kelapa kering jelas tidak benar Bapak Dukuh tahu dengan falsafah Tri Agni, yang berada di dalam diri sebenarnya. Kalau saya, melalui air kencing saya saja sampah ini akan terbakar tidak bersisa"
Tatkala didengarnya kata Ida Sang Bang demikian itu, menjadi terhenyak Dukuh, berdiam diri, seraya lama termenung, kemudian menghaturkan sembah "Singgih, Ratu Sang Bang, kalau benar seperti perkataan l Ratu, bisa membakar sampah ini dengan air kencing l Ratu, hamba akan menghaturkan diri, serta semua milik hamba beserta rakyat, serta pula anak hamba akan hamba serahkan semuanya kepada Cokor I Ratu"
Usai Sang Bang mendengar hatur Ki Dukuh, menjadi pulih kembali perasaan beliau. Lalu beliau berkata perlahan: "Nah, kalau benar seperti perkataan Bapak saya akan memperlihatkan bukti. Namun agar semuanya sanggup datang dan hadir serta disaksikan oleh Ida Sanghyang Triyodasa Saksi".
"Jangan sekali-kali l Ratu ragu. Memang dari lubuk hati hamba yang ikhlas tidak akan ingkar dengan janji". Demikian hatur Ki Dukuh.
"Nah, kalau begitu, ke sana Bapak pulang, beritahu sanak keluarga serta rakyat Bapak agar datang manakala saya memberikan bukti di hadapan Bapak". Demikian perjanjian Ida Sang Bang Manik Angkeran.
Setelah selesai janji itu, Ki Dukuh lalu memberitahukan kepada anak, isteri serta keluarganya, perihal janjinya kepada Ida Bang Manik Angkeran, serta imbalan yang dimasukkan ke dalam janji itu sebagai taruhan. Yang mendengar semuanya sama-sama paham di dalam hatinya menjadi taruhan.
Tersebutlah pada hari yang telah disepakati, pagi - pagi hari Ida Sang Bang sudah membersihkan diri dengan mandi di Tirtha Mas, serta kemudian melakukan yoga samadhi memuja Sanghyang Agni agar memberikan anugrah. Setelah melakukan yoga dan samadhi, lalu beliau berjalan menuju tempat tinggal Ki Dukuh.
Setelah dekat dengan tempat Ki Dukuh, nampaknya semuanya lengkap hadir, Ki Dukuh dengan isterinya, keduanya memakai pakaian putih-putih, ditemani dengan anak dan kerabatnya, hanya tinggal menunggu kedatangan Ida Sang Bang. Setelah tepat benar matahari di atas kepala, lalu beliau menuju tempat sampah yang bertimbun, di sana beliau mengheningkan cipta-mamusti, menyatukan pikirannya, menegakkan keteguhan batin Iaksana Gunung Mahameru. Tidak berapa lama, matang sudah yoga beliau, seraya mengeluarkan air kencing di sampah itu. Dan sekejap air kencing itu menjadi api yang menyala-nyala, berkobar. Terbakar semua sampah kebun di tempat itu, hampir-hampir terbakar seluruh hutan di sana.
Keadaan itu dilihat oleh Ki Dukuh serta semua iringannya, sangat kagum mereka pada kesaktian Ida Sang Bang. Ki Dukuh merasa kalah, namun sekaligus merasa untung, karena merasa mendapatkan jalan baik untuk pulang ke Sorga Loka. Tatkala api itu berkobar. saat itu pula Ida Sang Bang Manik Angkeran membelokkan ujung api itu ke arah timur laut. Lalu beliau berkata kepada Ki Dukuh: "Bapak Dukuh, saya memberi bekal Bapak dengan ganten. Turuti asap itu ke arah timur laut"
Saat itu Ki Dukuh menemukan jalan baik seraya melihat ada Meru bertingkat 11 (sebelas). Ki Dukuh menuju api itu serta mengheningkan cipta dengan sikap angeranasika mengheningkan cipta dengan melihat hidung, lalu beliau melompat ke tengah-tengah api yang sedang memuncak kobarannya itu. Ki Dukuh naik moksa seiring dengan asap yang mengepul tinggi itu serta kemudian tidak nampak lagi. Keadaan itu diikuti oleh isteri Ki Dukuh yang memakai kerudung dan berkain putih, kemudian mamusti, selanjutnya melompat juga ke api, sebagai tanda setia bhakti kepada suami serta berkeinginan juga menemui jalan terbaik menuju Sorga. Beliau berdua pulang ke Nirwana, melalui Jalan ke Sorga Loka yang utama, serta Juga berdasarkan sasupatan - penyucian oleh Ida Bang Manik Angkeran, yang telah menjadi pendeta yang bijak. Sejak saat itu Ki Dukuh Sakti dikenal dengan gelar Dukuh Lepas atau Dukuh Sorga. Lama kelamaan tempat Ida Sang Bang Manik Angkeran bersengketa dengan Ki Dukuh Sakti itu dinamai Gumawang,
Sekarang diceriterakan yang masih hidup. Sesudah Ki Dukuh Sakti meninggal semua milik Ki Dukuh serta rakyat se kawasan Desa Bukcabe, diserahkan kepada lda Sang Bang, termasuk putri beliau yang merupakan seorang dara yang bijak, cantik tiada bandingnya, bernama Ni Luh Warsiki. Kedua beliau itu sama-sama saling mencintai, disebabkan yang satunya merupakan seorang jejaka yang tampan bersanding dengan seorang dara yang jelita. Kemudian diselenggarakan Upacara Perkawinan
Setelah upacara selesai, lalu keduanya kembali ke Pasraman di Besakih. Sesampai di Tegehing Munduk-tempat ketinggian, Ni Luh Warsiki menoleh ke tempat bekas sampah dibakar, terhenyak beliau, lalu menangis, teringat akan ayah ibunya yang sudah berpulang. Beliau tidak mau melanjutkan perjalanan sebelum pulih perasaan beliau. Rakyat beliau kemudian membuatkan tempat beristirahat di sana. Lama kelamaan tempat itu dikenal dengan nama Munduk Jengis.
Diceriterakan kemudian rakyat semuanya sangat gembira pada perasaan mereka, disebabkan sekarang mereka memiliki pujaan yang tampan serta sakti, pintar, bijaksana serta dibya caksu, memiliki kesaktian bisa melihat kejadian tanpa hadir langsung.
Setelah lama beliau berdua bersuami isteri saling mencintai, saling mengasihi maka lahirlah seorang putra Iaki-laki, rupanya tampan serta memiliki prabawa yang agung dinamai Ida Wang Bang Banyak Wide.
IDA BANG MANIK ANGKERAN BERJUMPA DENGAN BIDADARI
Tidak terasa berapa tahun lamanya beliau bersuami-isteri, tatkala hari Purnama bulan ke sepuluh, Ida Sang Pendeta keluar dari pasraman, membawa tempat air serta seperangkat alat untuk mandi. Memang sudah menjadi kebiasaan beliau setiap hari baik atau pada hari Purnama-Tilem, selalu beliau bepergian ke Tirtha Pingit untuk mandi. Beliau berjalan naik perlahan sebab merasa senang beliau melihat segala bunga yang tumbuh di tepi jurang, serta pula di berbagai tempat di daerah Besakih. Banyak jenis bunganya serta beraneka rupa warnanya. Demikian senang perasaan Ida Sang Pendeta melihat keadaan seperti itu, sampai beliau menggumam bagaikan berbincang dengan bunga itu semua.
Setelah beliau memasuki hutan, terdengar oleh beliau suara burung semakin ramai saling bersahutan, Iaksana menyambut kedatangan Sang Pendeta. Beraneka macam memang suara burung itu. Semua itu menambah gembira hati sang pendeta. Tahu-tahu beliau sudah berada dekat dengan tempat Tirtha Pingit yang akan dituju.
Tiba-tiba beliau berhenti. Karena terlihat oleh beliau seorang wanita sudah ada lebih dahulu di tempat air suci itu, kemungkinan juga akan mandi. Beliau Sang Pendeta lalu memperhatikan wanita itu. Demikian cantiknya serta berwibawa wanita itu. Kemudian beliau merasa-rasa. Sepertinya beliau sudah pernah bertemu dengan wanita itu, namun tidak ingat lagi beliau, di mana, siapa gerangan wanita itu. Ingat lagi, kemudian lupa kembali. Tatkala itu, wanita itu juga diam menunduk, sepertinya acuh.
Setelah agak lama mengingat-ingat, juga tidak bisa beliau mengingat, maka didekatinya wanita itu, seraya menyampaikan pertanyaan: "Inggih, tuan puteri yang bijak, siapakah gerangan tuan puteri ini, Kok sendiri di tengah hutan begini. Dari mana tuan puteri, apakah tuan puteri benar manusia, apa Wong samar orang maya, ataukah Dewa ?"
Menjawab wanita itu: "Inggih Sang Pendeta, yang sangat bijaksana, hamba ini bukanlah manusia maya, dan juga bukan manusia".
"Kalau demikian, sebenarnya tuan puteri Bidadari ?".
"Ya, benar sekali seperti yang Sang Pendeta katakan, hamba memang bidadari dari Sorga".
"Aduh, sudah hamba sangka, tentu tuan puteri adalah Bidadari, karena kagum benar hamba melihat kecantikan paras tuan puteri".
"Inggih, memang demikian Sang Pendeta. Kalau wanita, kecantikannya yang menyebabkan orang itu kagum. Kalau Iaki-laki jelas kebijaksanaan dan keperwiraannya yang membuat orang kagum serta bertekuk lutut di kakinya". Demikian kata Sang Bidadari.
Ketika mendengar perkataan Sang Bidadari sedemikian itu, seperti terkena sindiran Sang Pendeta. Seraya menyembunyikan rasa gugupnya, lalu beliau berkata: "Apa yang mungkin tuan puteri cari, datang ke sini di tengah hutan seorang diri ?" Menjawab Sang Bidadari: "Tidak ada yang hamba cari. Kedatangan hamba ke sini, hanya bersenang-senang".
Apa yang menyebabkan tuan puteri datang ke sini untuk bersenang-senang. Apakah di Sorga kurang tempat yang indah untuk bersenang-senang?" "Ya, memang demikian Sang Pendeta. Di Sorga, memang tidak kurang tempat yang indah. Tetapi sebenarnya sekali, yang membuat hati ini senang, tidak tempat yang indah saja, namun senang atau sedih, suka atau duka, hanya tergantung pada hati perasaan kita masing-masing. Kalau seperti hamba, sekarang ini, hanya tempat ini yang paling indah, yang bisa memberikan kesenangan pada perasaan hamba. Sebenarnya Sang Pendeta, bagaikan ditarik hati hamba, jadi berkeinginan hamba untuk datang ke mari, mungkin ada sesuatu hal yang sangat indah di sini".
Lagi seperti dikenai sindiran, sampai Sang Pendeta menjadi makin gugup, lalu kemudian beliau berkata lagi: "Memang betul tuan puteri datang dari Sorga, sangat pintar dan bijak tuan puteri berkata, semakin menjadi kagum hamba kepada tuan puteri".
"Janganlah berkata demikian Ratu Sang Pendeta. Terlalu banyak l Ratu memuji diri hamba. Sebenarnya sekali, hamba masih terlalu muda". Demikian Sang Bidadari segera menjawab.
Setelah lama berbincang-bincang serta keduanya merasa di hati masing -masing sudah akrab serta bersemi lagi rasa cinta, lalu beliau Sang Pendeta memaksakan dirinya untuk berkata: "Duh Dewa Sang Bidadari, perkenankanlah hamba memohon maaf, kalau-kalau perkataan hamba tidak berkenan di hati, karena tidak bisa sama sekali hamba akan menghentikan perasaan hamba yang mungkin bisa dikatakan kurang baik, namun bisa juga disebut baik sekali".
Lalu menjawab Sang Bidadari: "Silakan Sang Pendeta, apa yang akan tuan sampaikan. Hamba bersedia untuk mendengarnya. Jangan lagi Sang Pendeta merasa ragu dan khawatir".
Berkata Sang Pendeta: "Duh, Dewa, terlebih dahulu hamba menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas anugerah Tuan Puteri. Pendek kata hamba ingin mengatakan, jangan sekali Tuan Puteri marah, mudah-mudahan Tuan Putri berkenan. Ya, begini .... diri hamba akan hamba serahkan ke hadapan Tuan Putri Namun karena hamba belum bisa ikut ke Sorga Loka mengikuti Tuan Puteri, kalau berkenan, Tuan Puteri akan hamba ajak di sini di dunia, di kawasan Besakih ini, menghamba dan mengabdi kepada Ida Bhatara di sini".
Menjawab Sang Bidadari: "Ya kanda, sebelum hamba menjawab keinginan kanda tersebut, berikan saya menceriterakan terlebih dahulu perihal kita berdua kala berada di Kendran. Sebenarnya, dahulu, sebelum kanda diutus untuk turun ke dunia ini, atas permohonan Ida Danghyang Siddhimantra, dinda sudah memilih hubungan-bertunangan dengan kanda. Namun setelah kanda turun ke Marcapada ini dinda masih sendirian berada di Sorga Loka. Lama dinda menunggu kedatangan kanda, tidak juga ada datang-datang. ltu sebabnya dinda sekarang turun ke dunia mengikuti jejak kakanda, agar bisa segera bertemu dengan kakanda, menyatukan tali asih yang sudah bersemi di Sorga Loka. Karena itu, kalau memang benar ada maksud kakanda akan bersatu dengan dinda, dinda tidak lagi berpanjang kata, dinda bersedia mendampingi kanda, walaupun di sini di dunia, semasih kakanda berada di sini".
Setelah mendengar perkataan Sang Bidadari demikian itu, merasa gugup dan terhenyak perasaan Ida Sang Pendeta. Namun di lain pihak merasa gembira perasaan beliau, seraya berkata: "Duh, permata hati kanda, l Dewa, dindaku, barangkali memang betul sekali apa yang dinda katakan baru saja, kanda juga merasa-rasa dengan perihal itu. Namun terasa sangat samar hal itu. Sekali lagi kanda ingin menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya, karena demikian besar kesetiaan dinda kepada kanda, sampai-sampai dinda mau turun ke dunia ini, meninggalkan semua keindahan yang ada di Sorgaloka. Ya, kalau demikian, kanda sanggup, agar kanda bisa bersama dengan dinda sampai kelak di kemudian hari, ke mana pergi dinda, kanda akan ikut. Namun demikian ada yang kanda ragukan dalam hati kanda, perihal keadaan dinda akan menetap di dunia ini bersama kanda, apakah tidak akan membuat ribut di Sorgaloka, ke sana kemari para Dewa mencari dinda. Itu yang sangat kanda khawatirkan di hati, agar tidak karena kanda yang menyebabkan dinda menemui kesulitan, apalagi dinda sudah demikian berkenan memberikan anugerah kepada kanda".
Menjawab Sang Bidadari dengan senyum manis: "Ya kanda, memang sepantasnya kanda memikirkan keadaan dinda. Namun jangan kanda merasa khawatir. Sebab dinda sudah memohon pamit kepada Ida Bhatara serta keluarga dinda semuanya di Sorga, serta dinda sudah mendapatkan ijin dari Ida Bhatara. Memang benar dinda sedikit bersikeras memohon diri kepada Ida Bhatara, karena janji Ida Bhatara dahulu, konon kanda hanya sebentar saja diutus turun ke sini ke dunia.
Namun, sesudah kanda selesai diruwat Ida Sang Nagaraja, seyogyanya kanda sudah kembali pulang ke Sorga. Memang kanda sudah dapat pulang sekejap, namun karena keras permohonan Ida Sang Nagaraja, yang sudah berjanji kepada Ida Danghyang Siddhimantra, ayah kakanda, lagi pula memang kebetulan ada lain pekerjaan yang harus kanda selesaikan di sini, jadi hambalah yang dikalahkan. Kanda dikembalikan lagi ke dunia. Karena dinda tidak mau ditinggalkan oleh kanda sedemikian lama, jadi dinda menghadap Ida Bhatara, memohon agar dinda diperkenankan turun ke dunia ini, mengikuti perjalanan kanda. Mungkin permohonan dinda dianggap pantas, itu sebabnya dinda diberi ijin untuk mohon pamit serta diberikan wara nugraha untuk bisa turun seperti ini ke dunia, tidak lagi menjalani hal yang sudah lazim, yakni menjelma sejak bayi seperti kelahiran kanda dahulu. Sebab bila demikian perihalnya, jelas tidak bisa dinda bertemu dengan palungguh kanda, seperti sekarang".
Memang demikian kagumnya beliau Sang Pendeta pada kadibyacaksuana wawasan Sang Bidadari, kemudian beliau bertanya kembali: "Jadi, kalau demikian halnya, semua perbuatan Kanda di dunia ini sudah dinda ketahui ?"
"Ya, semua dinda ketahui".
Baru demikian Sang Bidadari berkata, menjadi merah muka Ida Pendeta akibat malunya. Hal itu diketahui oleh Sang Bidadari. Lalu, seraya tersenyum, Sang Bidadari melanjutkan: "Namun semua itu merupakan titah atau kehendak dari Ida Bhatara di Sorgaloka. Kanda hanya melaksanakan. Kalau kanda tidak dijadikan anak yang durhaka, tidak bisa kanda akan nyupat- meruwat Ida Sang Nagaraja, sebab tidak lama kanda memenggal ekor beliau yang menjadi tempat berkumpulnya angkara. Namun Beliau Sang Nagaraja tidak berhutang supata kepada kanda, karena beliau sudah pula nyupat-menyucikan diri kanda, beliau melebur badan jasmani - stula sarira kanda yang banyak berisikan dosa, kemudian diganti oleh beliau dengan badan jasmani baik seperti sekarang ".
Sang Bidadari berhenti sebentar, kemudian melanjutkan lagi: "Dinda lanjutkan sedikit lagi. Begini, perihal beliau Ki Dukuh Belatung. Memang beliau sangat sakti matang sekali dalam hal yoga samadhi. Namun ada kekurangan beliau sedikit. Yaitu beliau sedikit tinggi hati dan senang pujian. ltu sebabnya beliau bersedia diruwat pada api yang keluar dari air kencing kanda. Namun sebenarnya, hal itu merupakan kehendak Ida Bhatara, sebab kalau Ki Dukuh tidak tinggi hati, dan senang pujian, tidak berhasil kanda akan memperlihatkan kesaktian membakar sampah di hutan dengan memakai air kencing, yang menjadi jalan Ki Dukuh untuk moksa. Sebab kalau kanda yang langsung bertindak lebih dahulu, jadi kanda akan dianggap mendahului dan berlaku kurang senonoh. Kesaktian yang kemudian memunculkan hal yang tidak baik jelas akan hilang keutamaannya". Demikian kata-kata Sang Bidadari.
Menjadi semakin kagum Sang Pendeta. Merah warna paras muka beliau sudah sirna. Beliau kemudian berkata dengan manis: "Ah, muda-mudanya mereka yang ada di Sorgaloka, lebih bijaksana jika dibandingkan dengan yang ada di dunia. Ya, kalau demikian halnya, menjadi tenang dan hening hati kanda tanpa ganjalan lagi sekarang. Sekarang, kanda temani dinda menuju Pasraman. Namun jangan sekali disamakan keadaan di sini dengan di Sorga".
Cepat berkata Sang Bidadari: "Janganlah itu lagi disinggung. Bisa bertemu dengan kanda seperti ini saja, dinda sudah sangat dan lebih bahagia dibandingkan dengan di Sorgaloka".
Singkat ceritera, pada akhirnya bersuami-istrilah Ida Sang Pendeta dengan Sang Bidadari, kemudian mengadakan putera Iaki seorang, tampan, berprabawa cerdas, mengagumkan sekali walaupun masih bayi, dinamai Ida Wang Bang Tulusdewa.
Semakin lama, kawasan Bukcabe, Besakih, Tegenan serta Batusesa, semakin subur makmur, tiada kurang makan dan minum. Itu sebabnya semakin bhakti rakyat di sana kepada Sang Pendeta. Diceriterakan di kawasan Besakih, ada pendamping Ida Sang Pendeta, sebagai pemuka warga Pasek di sana yang bernama Ki Pasek Wayabiya. Beliau sangat bhakti kepada Sang Pendeta, Danghyang Bang Manik Angkeran, karena anugerah beliau memberikan pelajaran tatwa, pengetahuan serta kaparamarthan-kebathinan kepada Ki Pasek. Itu sebabnya Ki Pasek menghaturkan puterinya yang bernama Ni Luh Murdani, seorang wanita yang cantik jelita, sebagai tanda pengikat bhakti beliau kepada Ki Pasek sekeluarga sampai kelak di kemudian hari. Beliau Sang Pendeta tidak menolak keinginan Ki Pasek Wayabiya.
Dengan demikian sudah tiga orang Sang Pendeta memiliki isteri, semuanya menjadi wikuni - pendeta wanita yang sangat fasih dengan weda mantra serta pula melaksanakan tapa brata yoga samadhi. Dari isterinya - Ni Luh Murdani, lahir seorang putera Iaki-laki, yang juga berprabawa agung, tampan, dinamai Ida Wang Bang Wayabiya atau Ida Wang Bang Kajakauh.
Bagaikan Brahma, Wisnu, Iswara rupa putra beliau bertiga: Ida Bang Banyak Wide, Ida Bang Tulusdewa miwah Ida Bang Wayabiya. Singkat ceritera, semua putranya itu meningkat dewasa. Karena memang putera orang yang bijak, maka ketiga putranya itu sangat setia dan akrab bersaudara, serta sangat berbakti kepada ayah bundanya. Semuanya pandai, karena segala yang dikatakan oleh ayah-bundanya berisikan Kadharman serta Kawicaksanaan. Isi dari Sanghyang Kamahayanikan, Sanghyang Sarasamuscaya dan Manawa Dharmasastra, sudah ditekuni dan dilaksanakan. Serta tidak ingkar kepada isi dari Tri Ratna dan Asta Marga Utama. Serta oleh Sang Pandita, putranya diberikan nasehat mengenai Putra Sasana dan Tri Guna serta Tri Rna. Pendeknya segala ilmu filsafat yang baik- baik ditekuni oleh Sang Tiga.
Selain dengan memberikan nasehat kepandaian, kebijaksanaan kepada para putera itu, Sang Pendeta juga sering melakukan perjalanan ke desa-desa memberikan nasehat dan petuah keagamaan serta ilmu kebathinan kepada masyarakat banyak ltu sebabnya, kelak di kemudian hari beliau dibuatkan sthana-pelinggih di pura-pura sebagai bukti sujud bhakti masyarakat kepada beliau.
IDA BANG MANIK ANGKERAN BERJUMPA KI DUKUH MURTHI
Diceriterakan sekarang, pada suatu hari. Ida Sang Pendeta Danghyang Bang Manik Angkeran berjalan menuju ke arah Barat Laut, ke arah tempat kediaman Ki Dukuh Murthi. Tidak diceriterakan di jalan, sampailah beliau di hutan Jehem, kemudian, menuju Padukuhan, dan berjumpa dengan Ki Dukuh Murthi. Keduanya kemudian berbincang-bincang mengenai mertua Sang Pendeta yakni Ki Dukuh Belatung yang sudah moksa. Ki Dukuh Murthi memang bersaudara dengan Ki Dukuh Belatung. Pada saat itu Ki Dukuh Murthi memiliki seorang anak wanita yang sangat cantik bernama Ni Luh Canting. Putrinya itu dipersembahkan oleh Ki Dukuh kepada Sang Pendeta, sebagai haturan utama yang tulus ikhlas, bukti besar bhaktinya Sang Dukuh kepada Sang Pendeta, sebagai pengikat hingga kelak di kemudian hari. Beliau Sang Pendeta sangat mencintai dan mengasihi Ni Luh Canting, serta bertemu cinta didasari rasa kasih sayang yang suci. Namun karena ada pekerjaan yang sangat mendesak serta didatangi oleh warga desa-desa lain untuk memberikan pelajaran pengetahuan keagamaan, tergesa-gesa beliau meninggalkan Ni Luh Canting untuk melanjutkan perjalanan memberikan petuah kepada warga desa-desa lainnya.
Ni Luh Canting kemudian hamil, dan lama-kelamaan melahirkan seorang putra yang tampan, diberi nama Sira Agra Manik. Belakangan Sira Agra Manik kembali ke Besakih, sehubungan dengan pesan ayahandanya untuk menghaturkan Lawangan Agung.
Dengan demikian Ida Danghyang Bang Manik Angkeran memiliki putra empat orang, yakni Ida Bang Banyak Wide, Ida Bang Tulusdewa, Ida Bang Wayabiya dan Si Agra Manik, yang keturunannya kemudian bernama Catur Warga.
6. IDA DANGHYANG BANG MANIK ANGKERAN BERPULANG KE SUNYALOKA
Patut diketahui perihal kesaktian Sang Bidadari sehari-hari, menanak nasi dengan sebulir padi. Sehelai bulu ayam, jika dimasak, menjadi ikan ayam. Keadaan demikian itu jelas tidak boleh dilihat oleh orang lain. Hal itu sudah dipermaklumkan kepada Sang Pendeta, agar beliau jangan mencoba kesaktian Sang Bidadari, agar kesaktian Sang Bidadari tidak hilang. Itu sebabnya keberadaan sehari-hari Sang Pendeta dengan isteri dan putranya di Besakih, tiada kurang suatu apapun.
Setelah berapa tahun lamanya, Ida Danghyang Bang Manik Angkeran melaksanakan swadharma berkeluarga dengan istri beliau bertiga beserta putranya tiga orang di Besakih, maka tibalah waktunya perjanjian Sang Bidadari harus kembali ke Sorgaloka. Keluar pikiran Ida Sang Pendeta mencoba kesaktian sang istri. Beliau mengintip isterinya Sang Bidadari sedang memasak, manakala isterinya menaruh sebulir padi. Setelah lama nian memasak, dibukanya kekeb - penutup alat masak- itu oleh Sang Bidadari. Dilihat padinya sebulir itu masih seperti sediakala. Saat itu, berpikir Sang Bidadari, kemungkinan memang sampai saat itu Sang Bidadari bersuamikan Sang Pendeta. Kemudian beliau menghadap dan menghaturkan sembah: "Inggih kakandaku, Sang Pandita, rupanya sampai di sini dinda mengabdikan diri - bersuamikan kanda. Sudah usai rupanya perjanjian kita. Dinda sekarang, akan memohon diri ke hadapan palungguh kanda, untuk pulang kembali ke Sorgaloka".
Sang Pandita kemudian berkata halus: "Nah, kalau begitu Silakan adinda pulang lebih dahulu, kanda akan mengikuti perjalanan dinda". Sang Bidadari lalu kembali ke Indraloka.
Sejak saat itu Ida Sang Pendeta Danghyang Bang Manik Angkeran selalu melaksanakan Yoga Panglepasan untuk pulang ke alam baka. Dan lagi, beliau menyadari akan segera kembali pulang ke Sunyaloka, lalu beliau memanggil putranya bertiga, memberitahukan bahwa putranya bertiga memiliki kakek di Jawa, yang bernama Ida Danghyang Siddhimantra. Bersama isterinya yang dua orang itu, beliau memberikan petuah yang sangat bermakna: " l Dewa, Bang Banyak Wide, l Dewa, Bang Tulusdewa, l Dewa Bang Wayabiya, anakku bertiga yang sangat ayahanda cintai dan kasihi, ayahanda sekarang bersama ibu-ibumu berdua, akan meninggalkan ananda. Ayahanda akan pulang ke Sorgaloka. Satukan diri ananda dalam bersaudara. Ala Ayu tunggal ! Duka maupun suka hendaknya tetap satu! Kemudian juga agar selalu ingat kepada Bhatara Kawitan, serta senantiasa bhakti menyembah Ida Bhatara semua di sini di Besakih serta Ida Bhatara Basukih. Tidak boleh ananda lalai serta ingkar dengan petuah ayahandamu ini". Demikian nasehat Ida Sang Pendeta, dicamkan betul oleh para putranya bertiga.
Pada hari yang baik, beliau kemudian berpulang ke Nirwana, moksa dengan Adhi Moksa-moksa yang utama, diiringkan oleh isterinya berdua, karena keduanya memang setia dan bhakti kepada beliau.
Diceriterakan, beliau-beliau itu sudah menyatu dengan Tuhan. Tinggallah para putranya bertiga, ditinggal oleh ayah serta bundanya. Namun demikian masyarakat se wilayah desa Bukcabe, masih tulus bhaktinya, karena ingat kepada petuah Ki Dukuh Sakti Belatung dahulu. Pada saat itu, putera Ida Bang Manik Angkeran yang nomor empat dari Ni Luh Canting yakni Sira Agra Manik, belum ada dan belum berdiam di Besakih.
Tidak terhitung berapa tahun ketiga putera itu ditinggal oleh ayah ibunya semua, lalu ada keinginan Ida Sang Bang Banyak Wide akan berbincang dengan kedua adiknya. Setelah semuanya duduk, maka berkatalah Ida Bang Banyak Wide "Inggih, adikku berdua, yang kanda kasihi dan cintai. Teringat kanda dengan petuah Ida l Aji, kata beliau Kakek kita yang bernama, mohon maaf, Ida Danghyang Siddhimantra, bertempat tinggal di Pulau Jawa, tepatnya di daerah Daha. Kalau sekiranya dinda berdua menyetujui, marilah kita pergi ke sana, bersembah sujud menghadap kepada Ida l Kakiyang- kakek kita, agar kita mengetahui keberadaan beliau, agar jangan seperti ungkapan yang mengatakan , tahu akan nama namun tidak tahu akibat rupa. Lagi pula kalau Kanda pikir, mungkin sekali Ida l Kakiyang - kakek kita tidak tahu sama sekali akan keberadaan kanda dinda, karena tidak ada yang menceriterakan perihal keberadaan ayahanda kita serta kita bertiga".
Baru didengar perkataan kakaknya demikian, maka menjawablah Ida Sang Bang Tulusdewa dengan sangat sopan: "Inggih palungguh kanda, mengenai perihal itu, perkenankanlah dinda menyampaikan pendapat, namun mohon dimaklumi, bila mana ada yang tidak berkenan di hati kanda. Perihal keinginan kanda , disebabkan niat bhakti kehadapan Ida l Kakiyang, memang wajar sekali. Dinda sangat berbesar hati. Namun bila mana kanda akan pergi ke Jawa, untuk menghadap kepada Ida Kakiyang kakek kita, apalagi berkeinginan untuk bertempat tinggal di sana, mohon maaf dan mohon perkenan kakanda, bahwa dinda tidak bisa mengikuti kehendak kanda itu. Biarkanlah hamba di sini di Bali, agar ada yang melanjutkan yadnya dari ayahanda Ida Sang Pendeta, sebagai tukang sapu di sini di Besakih, seperti menjadi petuah dari ayahanda".!
Kemudian Ida Bang Wayabiya menghaturkan sembah: "Inggih palungguh kanda Sang Bang Banyak Wide yang sangat dinda hormati, dinda juga, bukan karena kurang bhakti dinda kepada Ida l Kakiyang, walaupun belum dinda ketahui. Yang nomor dua, tidak kurang bhakti serta kasih dinda bersaudara dengan kakanda. Namun kalau berpindah tempat meninggalkan Bali ini, berat rasanya bagi dinda, karenanya, mohon maaf pula, dinda juga tidak ikut mendampingi kanda, seperti pula pada yang dikatakan kanda Tulusdewa baru. Dinda tidak sekali akan menghalangi niat luhur kakanda untuk pergi ke Jawa, menghadap kepada Ida l Kakiyang. Itu juga sangat pantas. Kalau kakanda berkehendak akan pergi, silakan kakanda pergi sendiri, agar ada yang memberitakan keberadaan di Bali ke hadapan Ida l Kakiyang. Biarkan dinda berdua di sini di Bali ".
Baru mendengar hatur adik-adiknya berdua, lama Ida Sang Banyak Wide berdiam, berpikir-pikir. Karena memang tidak pernah berpisah dan mereka saling mengasihi satu sama lainnya. Kemudian beliau berkata: "Inggih, kalau demikian pendapat dinda berdua, patut juga, di Bali agar ada, ke Jawa, menurut kanda, juga agar ada yang memberitahukan perihal keadaan kita di Bali ini, seperti yang dikatakan dinda Wayabiya baru. ltu sebabnya perkenankan kanda akan sendirian pergi ke Jawa, untuk menghadap kepada Ida l Kakiyang. Namun ada petuah kanda kepada dinda berdua. Walaupun kanda tidak lagi berada di sini bersama dinda berdua, di mana saja mungkin kanda - dinda berdiam, kalaupun kanda - dinda menemui kebaikan atau keburukan, agar supaya tidak kita lupa bersaudara sampai nanti kepada keturunan kita di kelak kemudian hari. Ingat betul nasehat suci dari Ayahanda kita: Ala Ayu Tunggal! Ayu tunggal, Ayu kabeh. Ala tunggal, ala kabeh! Duka dan suka tunggal! Kalau satu orang mendapatkan kegembiraan, agar semuanya bisa ikut menikmatinya.
Demikian juga kalau salah satu mengalami kedukaan agar semuanya merasakannya. Mudah-mudahan kita semuanya bisa bertemu kembali. Kalau tidak kanda yang bisa bertemu dengan dinda, semoga anak cucu kita bisa bertemu serta mengingatkan persaudaraan kita di kelak kemudian hari".
Inggih, silakan palungguh kanda pergi, dinda menuruti semua apa yang kanda katakan, Semoga kanda selamat, serta bisa bertemu dengan Ida l Kakiyang". Demikian hatur adiknya berdua.
Pada hari yang baik, Ida Bang Banyak Wide mohon diri kepada saudaranya berdua, seraya berangkat. Diceriterakan perjalanan Ida Bang Banyak Wide, demikian banyaknya desa, perumahan serta hutan dilewatinya, lembah dan jurang yang dituruninya, jarang sekali berjumpa dengan manusia. Banyak sekali kesulitan yang ditemuinya di jalan tak usah diceriterakan, namun Ida Bang Banyak Wide, walau masih jejaka muda-belia, demikian teguhnya kepada tekadnya, tidak pernah takut dan khawatir menghadapi kesulitan dan hambatan di jalan.
Pada siang hari beliau berjalan, di mana beliau merasa lesu, di sana berharap untuk beristirahat. Kalau hari sudah menjelang malam, beliau bermalam di mana beliau mendapatkan tempat. Kalau kemalaman di desa, berupaya beliau menumpang di tempat orang, namun seringkali beliau berada di tengah hutan, dan paksa tidur di pohon-pohon kayu. Setiap kali beliau berjumpa dengan orang, tidak lupa beliau menanyakan di mana negeri Daha itu.
Singkat ceritera, sampailah beliau di perbatasan negeri Daha. Terkesan beliau akan keadaan negeri itu yang demikian ramai dan indah. Berbeda sekali kalau dibandingkan dengan desa Besakih, yang sedikit bangunannya. Bangunan di sana semua besar-megah serta memakai tembok yang tinggi dari batu bata. Orang di sana semuanya memakai pakaian yang bagus - bagus. Jalannya juga lebar, setiap beberapa meter ada lampu yang berderet di sisi jalan.
Setelah tenggelam sang mentari, kala itu nampak oleh beliau ada sebuah bangunan seperti Jero, bertembok bata dengan memakai pintu gerbang kori agung Di bagian luar dari bangunan yang serupa jero itu, ada balai-balai kecil: bale panjang layaknya seperti tempat orang berteduh dan beristirahat. Di sana lalu beliau berteduh dan beristirahat. Demikian gembiranya beliau, sebab mendapatkan tempat beristirahat yang nyaman.
Tidak lama, karena demikian lesunya, sekejap beliau sudah terlelap. Ternyata itu ternyata sebuah Griya - tempat seorang pendeta yang bernama Ida Mpu Sedah Di sana, di bagian luar dari Griya Ida Pandita terdapat sebuah batu ceper yang berukuran besar, sebagai tempat Pendeta Mpu Sedah duduk-duduk tatkala beliau beranjangsana. Konon, dahulunya, di tempat batu itu, tak seorangpun berani bermain atau lewat di sana, apalagi untuk mendudukinya. Walau hanya seekor capungpun, kalau hinggap di tempat itu,. langsung akan hangus terbakar.
Singkat ceritera, ketika hari itu Ida Pandita keluar untuk berjalan-jalan, tiba-tiba beliau berhenti sejenak ketika melihat ada seorang jejaka duduk di batu ceper itu. Lalu didekatinya seraya berkata: " Uduh kaki, ndi sang kayeng tuan, agia tunggal-tunggal, eman-eman warnanta masmasku. Mwang siapa puspatanira ? Was duga-duga kawongane sira, dadine sira Kaki pasti maweruha. Nah, anakku, dari megerangan sebenarnya ananda ini datang sendirian ke mari. Kagum kakek menyatakan prabawamu . Siapa namamu, serta apa keluarga dan kelahiran ananda? Ayuh jelaskan agar kakek mengetahuinya !"
Kemudian Ida Sang Bang Banyak Wide berkata, seraya menghaturkan sembah bakti "Singgih pukulun Sang Pendeta, hamba adalah cucu dari Sang Pendeta Siddhimantra, ayahanda hamba adalah Sang Pendeta Angkeran. Nama hamba Sang Banyak Wide, maksud tujuan hamba adalah ingin bertemu dengan kakek Kakiyang hamba di Griya Daha, Ida Sang Pendeta Siddhimantra itu".
Baru didengar hatur Ida Sang Banyak Wide demikian, menjadi sangat terharu perasaan Ida Pandita, seraya berkata: "Aum cucuku tercinta, kalau demikian maksud tujuan cucunda, ketahuilah bahwa kakek cucunda ini memiliki hubungan saudara dengan kakekmu itu yang kini sudah tiada. Karena itu sekarang yang paling baik, dengarkan kakekmu ini, jangan dilanjutkan keinginan cucunda pulang ke Griya kakekmu. Di sini saja cucunda berdiam, mendampingi kakekmu ini yang sudah tua renta. Cucuku menjadi pewaris keturunanku, sebab kakekmu ini tidak memiliki keturunan atau anak. Dulu putera kakek ada Iaki-laki seorang, bernama Sira Bang Guwi. Sudah dibunuh oleh sang raja, dosanya karena membangkang kepada raja. Sebab itu sekarang putung - tidak berketurunan kakekmu ini, semoga berkenan cucunda menjadi sentana-keturunan pewarisku, yang akan memelihara tempat kediaman ini kelak di kemudian hari. Sekarang cucunda yang memerintah di kawasan ini. Di samping itu ada petuah Kakek, sebab cucunda memakai pegangan Ke-Budhaan, sementara kakekmu ini melaksanakan Kesiwaan, karena itu sekarang cucunda janganlah lagi menggelar Kebudhaan, gelaran Siwa yang cucunda jadikan pegangan ".Demikian wacana Ida Mpu Sedah kepada Ida Bang Banyak Wide yang memahami dan menyetujui kehendak Ida Pandita, sehingga akhirnya Ida Bang Banyak Wide diresmikan sebagai putera angkat - kadharma putera.
Sangatlah sukacita perasaan Sang Pendeta. sangat dimanja putranya Ida Bang Banyak Wide. Singkat ceritera, sekarang telah berdiam Ida Sang Bang Banyak Wide di Griya Daha mendampingi kakeknya Ida Mpu Sedah.
0 Responses

Posting Komentar